BAB IV PERUBAHAN STRATEGIS DARI ERA KE PASCA PERANG DINGIN: PERAN PERKAITAN FAKTORFAKTOR INTERNASIONAL DAN DOMESTIK Pembelian rutin dan peningkatan pembelian senjata oleh satu atau sekelompok negara dapat disebabkan oleh salah satu atau kombinasi dari banyak faktor. Khusus yang dialami oleh negara-negara berkembang, faktor-faktor penyebabnya relatif lebih beragam dibanding negara-negara yang sudah maju. Identifikasi yang dilakukan Jacques Huntzinger,155 Desmond Ball bersama Andrew Mack,156 dan Desmond Ball157 memunculkan faktor-faktor sebagai berikut: prestise, pengaruh, persepsi ancaman, sengketa teritorial, proteksi keamanan wilayah, ekspansi regional, keseimbangan kekuatan regional, perdagangan senjata internasional (eksternal), tertib domestik (ancaman subversi; separatisme), korupsi/komisi pembelian, birokratik militer dan industri militer (internal). Masing-masing faktor mempunyai tingkat dan signifikansi pengaruh yang berbeda satu sama lain terhadap proses pengambilan keputusan atas peningkatan dan pembangunan persenjataan. Perbedaan ini antara lain disebabkan oleh sejauhmana motivasi dan lingkungan strategis yang melatarbelakangi terjadinya akuisisi senjata. Faktor-faktor tersebut dilihat dari perspektif sebab-akibat dapat dibedakan dalam kategori interaktif dan non-interaktif. Sedangkan dilihat dari setting-nya dapat dibedakan dari lingkungan strategis/internasional (eksternal) dan lingkungan domestik (internal). Berdasarkan identifikasi masalah sebagaimana dibahas dalam bab pendahuluan, sejumlah faktor yang dianggap paling dipertimbangkan dan mempengaruhi proses pengambilan keputusan mengenai peningkatan dinamika persenjataan di negara-negara Asia Tenggara adalah: (1) adanya ancaman keamanan yang disebabkan persepsi saling curiga dan konflik intra-ekstra regional; (2) adanya pergeseran dalam aliansi pertahanan regional; (3) adanya proyeksi militer kekuatan-kekuatan regional; (4) adanya kemudahan dalam pasaran senjata; (5) adanya kemampuan ekonomi; dan (6) perkembangan industri pertahanan lokal. Kalau dikategorikan berdasarkan alasan penyebabnya, yang termasuk faktor interaktif adalah adanya kecurigaan dan konflik intra-ekstra regional, sementara 155 Lihat Jacques Huntzinger, “Emphasis on Demand”, dalam Controlling the Future Arms Trade, editor oleh Anne Hessing Cahn et al. (New York: Mc Graw Hill, 1977), hal. 166. 156 Desmond Ball and Andrew Mack, The Military Build-up in the Asia Pacific Region: Scope, Cases and Implications for Security”, Working Paper No. 264 (Canberra: Strategic and Defence Studies Center, The Australian National University, Oktober 1992), hal. 9-14. 157 Desmond Ball, “Trends in Military Acquisition in the Asia-Pacific Region: Implications for Security and Prospects for Constraints and Controls”, Working Paper No. 273 (Canberra: Strategic and Defence Studies Center, The Australian National University, Juli 1993), hal. 3-13. 73 faktor pergeseran dalam aliansi pertahanan dan proyeksi militer kekuatan regional digolongkan sebagai faktor semi-interaktif, dan determinan-determinan lainnya digolongkan sebagai faktor non-interaktif. Sedangkan berdasarkan setting-nya, faktor ancaman keamanan yang disebabkan konflik intra dan ekstra-regional, pergeseran aliansi pertahanan, proyeksi keseimbangan kekuatan regional, dan tekanan dari sistem perdagangan senjata internasional digolongkan sebagai faktor-faktor dari lingkungan internasional, selebihnya dianggap sebagai faktor dari lingkungan domestik (dalam negeri masing-masing negara). Masing-masing faktor yang akan dianalisis ini tidaklah berdiri sendiri, beberapa diantaranya saling terkait (linkage). Kemampuan membeli persenjataan dan perkembangan industri hankam lokal terkait erat dengan adanya kemampuan ekonomi. Demikian pula adanya proyeksi kekuatan regional dan munculnya konflik intra-ekstra regional terkait erat dengan adanya pergeseran postur pertahanan. Ketiga faktor terakhir ini pun sama-sama dipandang dalam perspektif ancaman, baik ancaman langsung maupun ancaman karena dilema keamanan. Analisis faktor-faktor ini merupakan penyidikan terhadap fenomena yang terjadi sebagai akibat perubahan strategis dari masa ke pasca Perang Dingin, tetapi karena dalam pemamparan fakta dinamika persenjataan merupakan perbandingan antara kondisi era dan pasca Perang Dingin, maka substansi faktor-faktor yang terjadi pada era Perang Dingin pun akan disidik sebagai tinjauan pembanding. Faktor-faktor Internasional: Perubahan Strategis dari Era ke Pasca Perang Dingin Mengingat tiga faktor berikut yang dianalisis terkait dengan persepsi ancaman keamanan sebagai konsekuensi perubahan dari masa Perang Dingin, penjelasan mengenai persepsi ancaman masa Perang Dingin sepatutnya dibahas terlebih dahulu. Setelah pasukan AS meninggalkan Asia daratan (Vietnam Selatan) pada 30 April 1975, Vietnam (hasil unifikasi Vietnam Utara dan Selatan) muncul sebagai negara militer terkuat di Asia Tenggara. Gabungan pasukan seluruh negara ASEAN, yang pada tahun 1975/1976 berjumlah 631.000 orang, tidak dapat menandingi angkatan bersenjata Vietnam berkekuatan 700.000 orang.158 Di samping jumlah personel militer yang begitu besar, Vietnam juga memiliki persenjataan yang canggih dan lengkap, baik yang mereka dapatkan dari US maupun yang ditinggalkan oleh pasukan AS akibat kekalahan dalam Perang Vietnam tahun 1975. Munculnya Vietnam sebagai negara militer kuat, yang secara ideologi/politik berada pada kubu yang bertentangan dengan negara-negara ASEAN, jelas merupakan ancaman bagi keamanan dan stabilitas ASEAN. Ancaman Vietnam ini paling dirasakan oleh Thailand, yang merupakan musuh tradisional Vietnam dan secara geografis berada di garis terdepan. Tidak saja Thailand, tetapi negara-negara ASEAN lainnya juga merasa khawatir akan dampak kemenangan komunis di Indocina, baik terhadap gerakan komunis dalam negeri masing-masing maupun terhadap keseimbangan kekuatan dalam kawasan Asia Tenggara. Kekhawatiran negara-negara ASEAN secara keseluruhan terhadap ancaman Vietnam meningkat setelah Kamboja diserang dan diduduki oleh kekuatan militer 158 Diolah dari The Military Balance,1975/76 (London, IISS, 2000). 74 Vietnam pada bulan Desember 1978.159 Dengan pendudukan tersebut, Thailand, sekarang langsung berhadapan dengan Vietnam, karena Kamboja tidak lagi berfungsi sebagai “buffer” (penyangga). Dalam waktu yang bersamaan, juga muncul ancaman keamanan baru, yaitu meningkatnya kehadiran militer US di Asia Tenggara. US menempati pangkalan laut yang dinggalkan AS di Cam Rahn Bay, dan pada tahun 1978 Vietnam menandatangani traktat persahabatan dengan US. Traktat ini semakin mendekatkan hubungan pertahanan antara Vietnam dan US. Sebagai respons atas kondisi keamanan diatas, pada periode ini sebenarnya terjadi peningkatan pembelanjaan senjata negara-negara ASEAN yang mempunyai korelasi langsung dengan persepsi meningkatnya ancaman keamanan regional. Bukanlah suatu kebetulan bahwa Thailand dan Singapura, dua negara ASEAN yang paling gigih dan vokal menentang kehadiran Vietnam di Kamboja dan kehadiran militer US di Asia Tenggara, mengalami peningkatan pembelian senjata paling tinggi dalam ASEAN.160 Secara umum, Angkatan Bersenjata ASEAN pun telah berubah dalam penekanan, dari hampir sepenuhnya untuk kemampuan pertahanan keamanan dalam negeri dan Coin (counter-insurgency) ke kemampuan konvensional yang difokuskan untuk menghadapi ancaman eksternal.161 Berakhirnya Perang Dingin, yang ditandai dengan penarikan pasukan US dari Vietnam, pasukan Vietnam dari Kamboja, dan dapat ditanganinya masalah Kamboja melalui Persetujuan Paris 23 Oktober 1991, mengakibatkan relevansi ancaman diatas semakin berkurang, dan memunculkan harapan akan suatu perdamaian. Tetapi era kehendak baik (era of goodwill) ini tidak berlansung lama, ketika berakhirnya tatanan global yang bercirikan dua kutub membuka jalan bagi suatu struktur banyak kutub yang kommpleks bercirikan ketidakpastian. Bagi negara-negara Asia Tenggara, ketidakpastian ini berkisar pada tiga masalah penting: (1) perselisihan-perselisihan teritorial yang tidak terpecahkan; (2) pengurangan kehadiran militer AS di kawasan; dan (3) munculnya peranan kekuatan-kekuatan regional. Kecurigaan dan Konflik Intra dan Ekstra-Regional Salah satu konsekuensi berakhirnya persaingan Timur-Barat adalah muculnya kecurigaan dan konflik-konflik regional diseluruh belahan dunia, tidak terkecuali di Asia- Pasifik dan khususnya Asia Tenggara. Konflik-konflik ini memiliki otonomi yang lebih besar untuk berkembang menjadi konflik yang lebih serius dan mengancam stabilitas kawasan.162 Potensi konflik ini mengandung aspek persepsi historis, aspek sengketa teritorial intra-kawasan dan aspek teritorial intra dan ekstra-kawasan. Selama masa Perang Dingin, selain karena terbatasi oleh isu-isu global AS-US, potensi-potensi konflik ini seakan-akan mengendap di bawah permukaan sebagai akibat 159 Keberanian Vietnam menyerang Kamboja pada hari Natal bulan Desember 1978 tampaknya disebabkan adanya “jaminan” dari US, setelah Vietnam menandatangani Perjanjian Kerjasama dan Persahabatan dengan US pada Nopember 1978, tepat satu bulan sebelum melakukan invasi ke Kamboja. 160 Dewi Fortuna Anwar, “Peningkatan Pembelian Senjata dalam ASEAN dan Implikasinya”, Teknologi Startegi Militer No. 74 Tahun VII (Agustus 1993), hal. 43-44. 161 Ninok Leksono Dermawan, Akuisisi Senjata RI dan Negara ASEAN Lain: Suatu Kajian atas Riwayat, Pola, Konteks dan Logika (Jakarta: Disertasi Doktor Program Pascasarjana UI, Jakarta, 1990), hal. 190. 162 Richard Rosecrance, “Regionalism and the Post War Era”, International Journal XL, No. 3 (Summer 1991). 75 menguatnya hubungan-hubungan antar negara ASEAN dalam Konferensi Puncak di Bali tahun 1976 dan adanya persatuan yang disebabkan oleh pendirian bersama ASEAN menghadapi konflik Kamboja. Akan tetapi setelah era Perang Dingin, masalah-masalah ini tak terhindarkan muncul kembali ketika isu-isu geostrategis berkurang arti pentingnya dan berakhirnya konflik Kamboja sebagai suatu ancaman bersama bagi negara-negara Asia Tenggara, baik blok ASEAN maupun blok Indocina.163 a) Persepsi Historis: Warisan Pola Politik Di Asia Tenggara, pada periode awal pasca Perang Dingin sikap saling curiga sesama negara di kawasan mencuat sebagai akibat warisan pola dan sikap politik lama. Persepsi ancaman di antara mereka sangat kompleks, tidak seperti dikotomi Perang Dingin. Pertama, Vietnam dan negara-negara Asia Tenggara lain --terutama dengan Thailand, juga masih memandang satu sama lain sebagai ancaman potensial di kawasan Asia Tenggara. Kedua, sesama negara saling memandang ancaman terhadap satu sama lain, terutama negara-negara kecil yang sangat khawatir terhadap tetangganya. Singapura dan Brunei masih khawatir terhadap Malaysia dan Indonesia, demikian juga Laos dan Kamboja masih memandang kecurigaan terhadap kemungkinan dominasi Vietnam. Ketiga, bahkan di lingkungan ASEAN yang sudah berdiri lebih dari seperempat abad, sampai saat ini masih ada kekhawatiran tentang Indonesia pada masa yang akan datang. Ini merupakan warisan sejarah ketika pemerintahan Orde Lama Indonesia (pemerintahan Soekarno) pernah menjalankan kebijaksanaan agresif terhadap negara-negara tetangganya. Kekhawatiran ini terbukti dengan belum dibubarkannya kerjasama pertahanan FPDA (Five Power Defence Arrangement), sebagai upaya pihak barat untuk mengamankan keberadaan Malaysia dan Singapura dari kemungkinan ancaman tetangganya, Vietnam sebagai ancaman utama dan “Indonesia” di lain pihak. Potensi persepsi historis ini kemudian semakin berkurang setelah tahun 1993 ASEAN memprakarsai berdirinya ASEAN Regional Forum (ARF) yang mengutamakan pendekatan untuk menumbuhkan saling percaya dan mengutamakan transparasi untuk mengatasi masalah-masalah keamanan. Bahkan tahun 1995 Vietnam secara resmi bergabung dengan ASEAN, disusul kemudian negara-negara Asia Tenggara lain, Myanmar dan Laos (tahun 1997) dan Kamboja (tahun 1998). b) Sengketa Teritorial Intra-Kawasan: Solusi Bilateral, ASEAN atau ICJ? Persepsi ancaman dan saling curiga di atas diperumit oleh masalah konflikkonflik teritorial. Seluruh negara di kawasan memiliki konflik teritorial atau perbatasan dengan salah satu atau beberapa negara. Masalah konflik teritorial intra-kawasan yang dapat diidentifikasi adalah: • Indonesia dan Malaysia mengenai pulau Sipadan, Sebatik dan Ligitan di Laut Sulawesi sekitar 35 km dari Semporna, Indonesia (pulau Kalimantan). Konflik ini sekarang telah selesai setelah diputuskan oleh ICJ dan dimenangkan oleh Malaysia; • Indonesia dan Vietnam mengenai penentuan batas landas kontinen di Laut Cina Selatan dekat Pulau Natuna;164 163 Herman Joseph S. Kraft, “Pengkajian Keamanan di ASEAN: Kecenderungan dan Arah”, Analisis CSIS, Tahun XXIII No. 2 (Maret-April 1994), hal. 92. 164 Ball, Op.Cit., hal. 27. Lihat juga “Indonesia Invites Vietnam to Resolve Boundary Dispute”, Jakarta Post (27 Juli 1992), hal. 1. 76 • Singapura dan Malaysia atas Pulau Batu Putih (Pedra Branca) sekitar 55 km sebelah Timur Singapura di Selat Johor; • Filipina dan Malaysia atas Sabah di pulau Kalimantan (Borneo); • Vietnam dan Kamboja mengenai sengketa perbatasan; • Vietnam, Thailand, Kamboja dan Malaysia mengenai garis batas laut luar; • Malaysia dan Brunei mengenai Teritori Limbang di Sarawak; • Malaysia dan Thailand mengenai sengketa perbatasan; dan • Thailand dan Myanmar mengenai konflik perbatasan. Dari keseluruhan konflik diatas, tiga diantaranya menunjukkan tingkat eskalasi yang tinggi, yaitu Indonesia-Malaysia soal Pulau Sipadan dan Ligitan, Malaysia-Singapura soal Pulau Batu Putih, dan Filipina-Malaysia soal Wilayah Sabah. Kecuali dalam kasus Sipadan-Ligitan, model solusi atas sengketa ini belum ada kata sepakat diantara sesama negara yang bertikai. Apakah menggunakan format kerangka bilateral, penyelesaian cara ASEAN, dan atau penyelesaian melalui forum Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ). Karenanya semua sengketa bersifat sementara (status quo), sebagaimana juga terlihat dalam sengketa Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia sebelum ditangani Mahkamah Internasional (ICJ)165 sebelumnya antara Malaysia-Indonesia terjadi silang pendapat soal penyelesaian konflik, setelah secara bilateral menemui jalan buntu, Malaysia menginginkan penyelesaian konflik melalui forum ICJ, tetapi Indonesia lebih menginginkan diselesaikan melalui forum Mahkamah ASEAN (ASEAN Hight Council). Walaupun pertemuan melalui ICJ ini telah mencapai hasil yang telah dityerima kedua belah pihak, tetapi kemudian persoalan lain akan muncul, terutama dari Filipina, mengingat pulau-pulau yang disengketakan ini berada di wilayah (dekat) Sabah yang juga disengketakan Malaysia dan Filipina. Sejak persoalan ini dibawa ke ICJ, Filipina mencoba melakukan upaya-upaya intervensi untuk turut serta dalam perundingan, mengingat kekhawatiran Filipina bahwa hasil keputusan ICJ akan mempengaruhi klaimnya atas Sabah.166 c) Sengketa Teritorial Intra dan Ekstra-Kawasan: Potensi Konflik Militer Selain konflik intra-kawasan, Asia Tenggara memiliki konflik dengan negara di luar kawasan, yaitu antara Vietnam dan Cina mengenai masalah perbatasan; Vietnam, Cina dan Taiwan mengenai klaim atas Kepulauan Paracel (Quan Doa Hoang Sa atau Xisha Quandao); dan Myanmar dan Bangladesh mengenai perbatasan. Tetapi yang paling mengkhawatirkan banyak pihak adalah sengketa Kepulaluan Spratly di Laut Cina Selatan yang melibatkan dua negara luar kawasan yaitu Cina dan Taiwan, selain negara-negara Asia Tenggara sendiri yaitu Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei. Sejauh ini masalahmasalah teritorial di atas belum dapat diselesaikan, kecuali untuk beberapa kasus pihakpihak yang terlibat sepakat untuk mempertahankan status quo wilayah-wilayah yang disengketakan tersebut. Namun, status quo itu sendiri pada dasarnya menunjukkan belum adanya mekanisme pemecahan masalah, jadi akan memperkuat persepsi ketidakpastian perilaku negara-negara lain yang terlibat dalam sengketa-sengketa teritorial tersebut. 165 “Kasus Pulau Sipadan-Ligitan: Filipina tak Boleh Ikut Campur”, Kompas 30 Maret 2001, hal. 2. 166 Ibid., dan Pikiran Rakyat, 27 Juni 2001. 77 Kekhawatiran akan eskalasi konflik Spratly ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, banyaknya jumlah negara yang terlibat dalam klaim-klaim tumpang tindih atas kepulauan Spratly jelas merupakan aspek yang paling rumit bagi penyelesaian damai.167 Setelah didalam kawasan sendiri mendapati banyak masalah-masalah soal konflik teritorial dan perbatasan, dimana satu pun belum mencapai solusi terbaik, negaranegara Asia Tenggara (dan ASEAN sebagai organisasi) dihadapkan pada potensi konflik dengan negara-negara di luar kawasan. Sampai sejauh ini, upaya-upaya untuk menyelesaikan masalah ini baru sebatas upaya dialog dan bersifat status quo.168 Upaya mempertahankan status quo ini terakhir dibicarakan dalam KTT Informal ASEAN ke-2 di Kuala Lumpur tanggal 15-16 Desember 1997 antara Cina, Vietnam dan Filipina.169 Dalam lingkungan ASEAN sendiri, konflik ini merupakan tantangan tersendiri yang memungkinkan sesama negara anggota terlibat ketegangan seperti terjadi antara Malaysia dan Filipina.170 167 Rizal Sukma, “Pengaturan Keamanan di Asia Tenggara: Agenda Rumit KTT ASEAN IV”, Analisis CSIS, Tahun XX No. 6 (November-Desember 1991), hal. 503. 168 Upaya-upaya penyelesaian dan penurunan tingkat potensi konflik Laut Cina Selatan dilakukan melalui serangkaian forum Lokakarya (Workshop) antara lain: (1) The Workshop on Managing Potential Conflicts in the South Cina Sea, pada tanggal 22-24 Januari 1990 di Bali yang diikuti oleh negara-negara ASEAN dan para ahli dari Kanada; (2) Diselenggarakan di Bandung pada tanggal 15-18 Juli 1991 yang dihadiri oleh peserta-peserta ASEAN, Cina, Vietnam, Taiwan dan Laos; (3) Diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 38 Juni-2Juli 1992 oleh peserta yang sama; (4) Diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 23-25 Agustus 1993 oleh peserta yang sama; (5) Diselenggarakan di Bukittinggi pada tanggal 26-28 Oktober 1994 oleh peserta yang sama ditambah peserta baru Kamboja; (6) Diselenggarakan di Balikpapan pada tanggal 10-13 Oktober 1995; (8) Diselenggarakan di Pacet, Bogor pada tanggal 3-4 Desember 1997; dan (9) Diselenggarakan di Jakarta 1-3 Desember 1998. Akan tetapi serangkaian lokakarya ini belum menyentuh pembicaraan mengenai masalah kedaulatan pulau-pulau Spratly dan baru sebatas perundingan mengenai kemungkinan dan pelaksanaan kerjasama mengenai berbagai kegiatan yang bisa dilaksanakan bersama melalui Kelompok Kerja Teknis (Technical Working Group/TWG) seperti: (1) Penilaian kekayaan laut dan cara-cara pengembangannya (Resources Assesment and Ways of Development/RAWD); (2) Penelitian Ilmiah Kelautan (Marine Scientific Research/MSR); (3) Proteksi Lingkungan Laut (Marine Environment Protection/MEP); dan (4) Legal Matters/LM; dan (5) Safety of Navigation, Shipping and Communication/SNSC.Satu hal yang menjadi titik lemah lokakarya ini adalah sifatnya yang informal. Pertemuan informal memang mempunyai arti positif karena peserta lokakarya dapat membicarakan isu secara lebih terbuka dan dapat diperdebatkan secara bebas. Tetapi pertemuan informal mempunyai sisi negatif karena pemerintah dapat mengabaikan hasil-hasil yang dicapai dan kebijakan yang diambilnya mungkin akan bertentangan dengan rekomendasi yang disarankan oleh lokakarya. Disamping itu kemungkinan mundurnya salah satu atau beberapa diantara negara-negara yang bersengketa dari lokakarya akan meneyebabkan upaya untuk mengadakan kerjasama mengalami hambatan. Lebih lengkapnya baca dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri RI (Balitbang Deplu RI), Report of the Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea, Bali, 22-24 Januari 1990; Balitbang Deplu RI, The Second Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea, Bandung, 15-18 Juli 1991; Balitbang Deplu RI, The Third Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea, Yogyakarta, 28 Juni-2 Juli 1992; Balitbang Deplu RI, The Fourth Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea, Surabaya, 23-25 Agustus 1993; Balitbang Deplu RI, The Fifth Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea, Bukittinggi, 26-28 Oktober 1994; Balitbang Deplu RI, The Sixth Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea, Balikpapan, 10-13 Oktober 1995; Balitbang Deplu RI, The Sixth Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea, Balitbang Deplu RI, The Sixth Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea, Balikpapan, 10-13 Oktober 1995 Pacet, Bogor, 3-5 Desember 1997; dan Balitbang Deplu RI, The Sixth Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea, Balikpapan, 1-3 Desember 1998; serta F. Andrea, “Kegiatan-kegiatan Diplomatik ASEAN di Asia Pasifik 1999”, Analisis CSIS Tahun XXVIII No. 4 (1999), hal. 423. 169 Republika, 17 Desember 1997. 170 “Filipina-Malaysia Rebutan Spratly”, Kompas 24 Agustus 1999. 78 Kedua, keengganan Cina untuk melakukan perundingan multilateral dalam menyelesaikan sengketa secara keseluruhan. Cina menganggap seluruh pulau-pulau di kawasan Laut Cina Selatan merupakan wilayahnya dan setiap negara yang menuntut dan menduduki pulau-pulau Spratly harus mengadakan perundingan bilateral dengannya, dan bagi Cina persetujuan yang mungkin akan dicapai oleh negara-negara bersengketa lainnya tidak akan menyelesaikan sengketa Spratly secara keseluruhan, kecuali kedua negara itu sendiri. Di lain pihak negara-negara lainnya yang bersengketa seperti Malaysia, Vietnam dan Filipina lebih mendukung perundingan multilateral, karena secara bersama-sama mereka akan mempunyai posisi yang lebih kuat untuk mempertahankan pulau-pulau Spratly yang telah diduduki terutama menghadapi tuntutan Cina. Sebaliknya Cina lebih memilih perundingan bilateral dengan masing-masing negara yang bersengketa, karena dengan cara ini Cina akan dapat menekan masing-masing negara daripada menghadapi mereka secara bersama.171 Ketiga, keterlibatan Cina dipandang sebagai potensi yang dapat memicu konflik militer di wilayah ini.172 Peningkatan militerisasi dan tuntutan Cina yang tanpa kompromi atas kedaulatan di Laut Cina Selatan menciptakan suatu situasi yang mengkhawatirkan sebagai berpotensi menjadi konflik bersenjata. Kasus pertempuran laut terbatas antara Cina dan Vietnam pada tahun 1988 merupakan peringatan bagi semuanya atas sikap nonkompromi Cina. Terakhir yang masih hangat adalah kasus tabrakan pesawat intai rahasia AS (EP-3E) dengan pesawat tempur Cina di wilayah udara Laut Cina Selatan pada April 2001.173 171 Lihat Asnani Usman dan Rizal Sukma, Konflik Laut Cina Selatan: Tantangan Bagi ASEAN, (Jakarta: CSIS, 1997), hal. 50. 172 Lihat Lee Lai Tao, “Managing Potensial Konflik in the South Cina Sea: Political and Security Issues”, Indonesian Quarterly XVIII No. 2 (Kuartal Kedua, 1990), hal. 157. 173 Kompas, 15 April 2001. 79 GAMBAR 4 TUMPANG TINDIH KLAIM DALAM KONFLIK LAUT CINA SELATAN SUMBER: Richard Sokolsky (ed), The Role of Southeast Asia in U.S. Strategy Toward China. Santa Monica: RAND, 2000, hal. 20. Keempat, pada bulan Mei 1996 Cina mengeluarkan UU baru mengenai Laut Cina Selatan, dimana Cina menentukan garis wilayah perairannya (base line) dengan koordinat-koordinat baru di wilayah utara Laut Cina Selatan. UU ini menjadi kontroversial karena dengan demikian Cina menambah kawasannya menjadi dua juta kilometer persegi dari sekitar 1,6 juta kilometer persegi. Jika Cina menentukan base line di wilayah Laut Cina Selatan, maka Cina akan mengklaim sebagian dari wilayah perairan beberapa negara ASEAN. Hal ini akan mengakibatkan tumpang tindih atas perairan ZEE (200 mil dari pantai). Kendati Filipina dan Vietnam mengecam keputusan tersebut, dan bahkan Menlu Ali Alatas mengirim aide-memoire kepada Cina, tidak dijawab oleh pihak Cina.174 Kelima, belum adanya kode etik regional untuk membangun saling percaya diantara para negara peng-klaim, hal inilah yang menyebabkan munculnya berbagai insiden antara lain pembangunan gedung dan instalasi permanen oleh satu negara dan mendapat reaksi dari negara lainnya untuk berbuat hal yang sama.175 Kode etik ini selayaknya harus lengkap dan memasukkan prinsip-prinsip umum yang telah disetujui ASEAN tahun 1992, yaitu Deklarasi Manila tentang penyelesaian damai atas klaim 174 Kompas, 22, 23, 24 Juli 1996. 175 Media Indonesia, 26 Juli 1999. 80 tumpang tindih di Laut Cina Selatan; dan Konvensi PBB tahun 1982 tentang Hukum Laut. Secara umum sengketa teritorial di atas memicu pembangunan militer negaranegara Asia Tenggara terutama dengan penekanan pada kemampuan patroli udara dan laut, operasi militer jarak jauh baik defensif maupun ofensif, dan perangkat perang elektronik. Kekuatan ini tidak hanya sebagai persiapan jika terjadi skenario terburuk, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa kehadiran militer mereka di sekitar daerah yang disengketakan adalah simbol kedaulatan mereka di kawasan tersebut. Modernisasi angkatan laut dan udara Cina dengan kemampuan melakukan operasi militer di Laut Cina Selatan adalah contoh paling jelas mengenai perkembangan di atas. Hal serupa juga dilakukan oleh Malaysia ketika negara ini membeli pesawat-pesawat tempur baru MiG-29 dari Rusia dan F-18 dari AS yang mampu beroperasi sampai ke Kepulauan Spratly yang disengketakan itu. Memang dalam jangka pendek kekhawatiran atas munculnya konflik militer sedikit dapat dihindari mengingat keterbatasan kemampuan militer masing-masing. Cina walaupun melakukan modernisasi angkatan bersenjatanya, tetapi dihambat oleh jarak dalam mengangkut pasukannya ke pulau-pulau Spratly sehingga posisi Cina kurang menguntungkan. Vietnam dan Malaysia, walaupun memiliki pesawat-pesat SU-22 dan MiG-21 yang mempunyai daya jangkau ke wilayah sengketa, masih diragukan kemampuannya untuk mengontrol keseluruhan wilayah Spratly. Terlebih negara-negara lain seperti Taiwan, Filipina, dan Brunei dapat dikatakan hampir tidak mempunyai kemampuan militer untuk bertempur di kawasan Spratly. Tetapi dalam jangka panjang, konflik militer adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Kemungkinan ini tergantung kepada beberapa faktor,176 antara lain: (1) gagalnya usahausaha kerjasama dan perundingan untuk mencapai persetujuan bersama di masa-masa mendatang; (2) meningkatnya penggunaan militer oleh negara-negara yang bersengketa dalam merealisir dan mempertahankan tuntutan mereka; (3) meningkatnya kemampuan militer salah satu negara yang dapat mendorong negara tersebut menggunakan kekuatan militernya untuk menguasai pulau-pulau Spratly; (4) ditemukannya kekayaan minyak dan mineral yang potensial yang akan dapat memperkuat tekad negara-negara yang bersengketa untuk mempertahankan tuntutannya dengan penggunaan kekuatan militer; (5) tekad Cina untuk mengorbankan hubungan baik dengan negara-negara Asia Tenggara; (6) tidak adanya negara-negara besar lain yang mempunyai kepentingan di kawasan ini yang mampu mencegah penggunaan kekuatan militer oleh salah satu negara yang bersengketa, terutama Cina; dan (7) tetapi terganggunya jalur pelayaran internasional oleh konflik-konflik militer dan terancamnya kepentingan negara-negara besar mungkin mendorong keterlibatan AS dalam konflik.177 Dilihat dari kemungkinan ini jelas sengketa kepulauan Spratly merupakan potensi ancaman terhadap ketidakstabilan kawasan. Bahkan eskalasinya bisa melebihi apa yang pernah terjadi dalam konflik Kamboja. Wajar bila peningkatan suhu konflik dikawasan 176 Lihat Usman dan Sukma, Op.Cit., hal. 48. 177 Walaupun sejauh ini AS berulangkali mengemukakan bahwa negaranya tidak ingin terlibat dalam sengketa teritorial di Laut Cina Selatan, tetapi AS senantiasa mewaspadai atas kemungkinan ancaman Cina di kawasan ini, dan bersama-sama negara ASEAN memikirkan strategi bersama untuk menghadapi Cina. Lihat Richard Sokolsky, Angel Rabasa dan C.R.Neu, The Role of the Southeast Asia in US Strategy Toward China, (Santa Monica: Rand Corporation, 2000). hal. 15-25. 81 ini dapat mempengaruhi peningkatan pembelian senjata negara-negara yang bersengketa dan negara-negara tetangga yang mungkin terbawa arus konflik. Sebagai gambaran, dalam sepuluh tahun terakhir sudah beberapa kali terjadi bentrokan senjata, masing-masing antara Cina-Filipina dan Cina-Vietnam, Vietnam- Filipina serta puluhan provokasi antara mereka yang bertikai --salah satunya antara Filipina-Malaysia.178 Pergeseran Aliansi Pertahanan: Model Payung Keamanan menjadi Pertahanan Mandiri a) Postur Pertahanan Era Perang Dingin Pada tahun 1970-an, kecuali Singapura yang sejak semula telah melihat ancaman keamanannya datang dari luar, pada umumnya negara-negara ASEAN (dengan keanggotaan saat itu, ASEAN 5) dan Myanmar lebih memusatkan perhatian ancaman dari dalam negeri masing-masing. Dengan kata lain, struktur pertahanan negara-negara ASEAN pada umumnya lebih “inward looking”. Untuk mengatasi subversi dan insurgency dan berbagai pemberontakan diperlukan sistem persenjataan ringan, yang sesuai dengan misi “Counter-insurgency”.179 Hal ini jelas berbeda dengan negara-negara Indocina, yang lebih memandang kemungkinan ancaman datang dari luar. Tetapi sejak pertengahan tahun 1980-an negara-negara ASEAN mulai membeli pesawat-pesawat tempur canggih, seperti F-16 yang jelas tidak ditujukan untuk misi-misi “counter-insurgency”. Pembelian pesawat tempur, kapal selam dan frigat menunjukkan kesiagaan pertahanan secara lebih konvensional, yaitu untuk menghadapi musuh negara yang datang dari luar. Dengan demikian, telah terjadi perubahan misi dalam struktur pertahanan sebagian besar negara ASEAN, dari “counter-insurgency” menuju sistem pertahanan yang lebih konvensional.180 Persepsi adanya ancaman keamanan regional --konflik Kamboja, mendukung pandangan bahwa struktur pertahanan negara-negara ASEAN telah mengalami perubahan. Kemenangan komunisme di Indocina merupakan tantangan “counter-insurgency”, bukan ancaman konvensional. Kemenangan komunisme tersebut ditakutkan dapat mempengaruhi gerakan-gerakan komunis di negara-negara ASEAN. Akan tetapi pendudukan militer Vietnam terhadap Kamboja pada Desember 1978, kehadiran Angkatan Laut US di perairan Asia Tenggara, serta ancaman konflik bersenjata di Laut Cina Selatan, merupakan tantangan keamanan yang sifatnya lebih konvensional. Konsekuensinya, negara-negara ASEAN yang sebelumnya lebih memusatkan perhatian pada masalah keamanan dalam negeri dan tidak begitu khawatir akan ancaman yang datang dari luar, dalam dekade terakhir ini mulai mengubah pandangannya. Hal ini kemudian terlihat jelas saat mereka mulai mengakuisisi persenjataan yang berteknologi tinggi, daya jelajah lebih jauh, daya penghancur lebih besar dan akurasi menembak sasaran lebih tinggi yang dilihat dari sifat persenjataannya tidak ada relevansinya dengan 178 “Spratly Agenda KTT ASEAN”, Kompas 20 November 1999, hal. 23; Kompas 1 November 1999, hal. 28; dan Kompas 2 November 1999, hal. 24. 179 Kecuali Singapura, hampir semua negara ASEAN dan Myanmar pada era Perang dingin disibukkan oleh berbagai ancaman internal. Ada dua ancaman besar yang menjadi perhatian pada saat itu: (1) gerakan bawah tanah (gerilya) dari Partai Komunis di Thailand, Malaysia, Filipina dan Myanmar; dan (2) gerakan separatis di Indonesia, Malaysia, Brunei, Thailand, Filipina dan Myanmar. 180 Lihat Dewi Fortuna Anwar, Op.Cit., hal. 46. 82 kepentingan pertahanan untuk menangkal ancaman dalam negeri, seperti bahaya laten komunis atau gerakan separatisme. Akan tetapi, walaupun terjadi pergeseran perspektif dalam sikap pertahanannya, selama era Perang Dingin berjalan, sebagian besar negara-negara ASEAN tetap menggantungkan pertahanan dan keamanannya secara konvensional pada kehadiran kekuatan militer asing (AS), yang biasa disebut dengan model payung keamanan. Demikian pula negara-negara Indocina, menggantungkan pertahanan atas kehadiran US. b) Postur Pertahanan Pasca Perang Dingin: Power Vacuum? Intensifnya pendekatan-pendekatan antara AS-US sejak tampilnya Mikhail Gorbachev di Kremlin tahun 1987, dan mengendurnya kemampuan ekonomi US pada paruh akhir dasawarsa 1980-an, menyebabkan negara ini meninjau ulang kembali kebijakan luar negerinya di berbagai kawasan, termasuk di kawasan Asia-Pasifik --Asia Timur dan Asia Tenggara.181 Keputusan drastis berikutnya adalah penarikan seluruh kekuatan militernya dari berbagai kawasan, termasuk Asia Tenggara pada awal tahun 1990.182 Sebelumnya di Asia Tenggara, sejak tahun 1978 (sejak penandatangan perjanjian Kerjasama dan Persahabatan dengan Vietnam), US menempatkan tentara sejumlah lebih kurang 4.500 personel (termasuk di Korea Utara), dan menggelar operasi Angkatan Laut di Cam Ranh Bay serta menggelar operasi Angkatan Udara di Danang.183 Kehadiran US inilah yang kemudian menyebabkan AS meningkatkan penggelaran kekuatan militernya di Asia-Pasifik, dan terutama di Asia Tenggara dengan menggelar kekuatan di Filipina -- Subic Bay dan Clark Field. Di mata AS, kehadiran US di kawasan ini merupakan ancaman terhadap kepentingan-kepentingan global AS dan negara-negara sekutunya di kawasan ini. Tetapi, seiring menurunnya faktor ancaman US (Rusia), AS cenderung mengubah pendekatannya terhadap kawasan Asia. Walaupun masih memberikan payung penangkal yang diperluas (extended deterrence) kepada Jepang, Korea Selatan, Filipina, Australia dan Thailand (melalui kesepakatan Rusk-Thanat tahun 1962), AS tampaknya menginginkan negara-negara Asia mampu membangun kekuatan penangkal secara mandiri.184 AS berharap negara-negara Asia Tenggara mampu menangkal ancaman militer lokal dengan kemampuan sendiri, sementara AS hanya akan mengatasi ancaman-ancaman yang sifatnya lebih besar dan mengamankan jalur laut dan udara. TABEL 4.1. JADWAL PENGURANGAN PASUKAN DAN PERSENJATAAN AMERIKA SERIKAT DARI ASIA PASIFIK TAHAPAN PENGURANGAN PASUKAN AS NEGARA PASUKAN 1990 awal kekuatan Tahap I pengurangan 1990-1992 Pengunduran di Filipina 1993 kekuatan Tahap II Pengurangan 1992-1995 1995 kekuatan (perkiraan) JEPANG 50,000 4,773 45,227 700 44,527 AD AL Marinir AU Gabungan 2,000 7,000 25,000 16,000 22 502 3,489 560 200 1,978 6,498 21,511 15,440 700 1,978 6,498 21,511 14,740 181 Kirdi Dipoyudo, “Garis Baru Politik Luar Negeri Uni Soviet Menuju Ko-Eksistensi Damai dan Kerjasama”, Analisis CSIS, Tahun XVIII No. 1 (Januari-Pebruari 1989), hal. 30-38. 182 Kompas, 20 Januari 1990. 183 “Soviet Global Power Projection” dalam Soviet Military Power: Prospects for Change 1989, hal. 20. 184 Sheldon W. Simon, “The United States and Conflict Reduction in Southeast Asia”, Contemporary Southeast Asia 12, No. 2 (September 1990), hal. 84. 83 KOREA 44,400 6,987 37,413 6500* 30,913* AD AL Marinir AU 32,000 400 500 11,500 5,000 1,987 27,000 400 500 9,153 27,000 400 500 0,513 FILIPINA 14,800 3,490 11,310 AD AL Marinir AU 200 5,000 900 8,700 672 2,818 200 4,328 900 5,882 dipindahkan ke wilayahwilayah lain. 1,000 1,000** TOTAL 109,200 15,250 11,310 83,640 7,200 76,440 25,800*** 135,000 25,800*** 109,440 25,800*** 102,240 SUMBER : US Department of Defense, A Strategic Franework for the Asian Pacifik Rim (Washington DC: USGPO, 1992). KETERANGAN: * ** *** Pengurangan pasukan Korea ini tergantung pada tingkat ancaman Korea Utara Perkiraan pemindahan ke Jepang, Korea, Singapura. Tidak termasuk Guam Pasukan yang disiapkan dalam keadaan darurat Pendekatan ini menjadi kenyataan ketika pada tanggal 30 September 1992, Duta Besar AS untuk Filipina Richard Solomon atas nama Pemerintah AS menyerahkan Pangkalan Angkatan Laut (AL) AS Teluk Subic (Subic Bay) kepada Pemerintah Filipina. Dengan diturunkannya bendera AS dalam upacara serah terima di Pangkalan AL AS Subic itu, maka secara resmi berakhirlah kehadiran AS selama hampir 100 tahun di Filipina. Tahun lalu, 26 November 1992, Angkatan Udara (AU) AS meninggalkan Pangkalan AU AS Clark di Angeles City yang rusak akibat letusan Gunung Pinatubo.185 Seiring dengan penutupan pangkalan diatas, AS pun melakukan pengurangan pasukan di kawasan Asia-Pasifik seperti yang diusulkan oleh pemerintahan Presiden George Bush pada Kongres AS awal tahun 1990 lalu. Tahap pertama (1990-92) jumlah pengurangan pasukan AS mencapai 23 persen, yaitu dari 109.200 personil menjadi 83.640 personil. Tahap kedua (1992-95) pengurangan berkisar antara 9 persen, yaitu 83.640 personil menjadi 76.440 personil (lihat tabel 4.1.). Persepsi bahwa AS akan terus mengurangi kehadiran militernya di kawasan ini, mencemaskan banyak negara. Ini berarti negara-negara Asia-Pasifik harus mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk mempertahankan keamanan nasional dan regional.186 Persepsi seperti itu semakin kuat ketika pemerintah AS sendiri menghadapi tekanan-tekanan dalam negeri untuk mengurangi anggaran pertahanan dan pembatasan operasi-operasi militer di luar wilayah AS.187 AS juga terus memberi tekanan kepada negara-negara sahabatnya tentang perlunya berbagi beban dalam menanggung biaya keamanan regional dan global. Oleh karena itu sangat beralasan jika banyak negara di kawasan ini mulai meragukan komitmen AS terhadap keamanan Asia Pasifik. Rasa cemas yang menghinggapi negara-negara di kawasan ini terkait dengan pengurangan kehadiran militer AS di Asia Pasifik didasarkan atas beberapa pertimbangan.188 Pertama, AS selama ini dipandang sebagai pilar stabilitas dan keamanan kawasan. Tidak ada negara lain yang dapat menggantikan posisi AS tanpa menimbulkan 185 “Kerjasama Bilateral, Dasar Kehadiran Militer AS di Asteng”, Kompas, 9 Januari 1993. 186 Andrew Mack, “Reassurance Versus Deterrence Strategis for the Asia-Pasific Region”, Working Paper No. 103, (Canberra: Peace Research Centre, The Australian National University, Februari 1993), hal. 8. 187 John R. Faust, “The Emerging Security System ini East Asia”, Journal of East Asia Affairs 8, No. 1 (Winter/Spring 1994), hal. 85. 188 Lihat Edy Prasetiono, “Peningkatan Kekuatan Militer Negara-negara Asia-Pasifik dan Implikasinya Terhadap Keamanan Regional”, Analisis CSIS Tahun XXIII No. 6 (November-Desember 1994), hal. 504. 84 kecurigaan, ketegangan, atau mungkin konflik. Seorang pengamat menyatakan: “Adalah paradoks bahwa Amerika Serikat, kalah di Vietnam, mundur dari Filipina, ditentang oleh Korea Utara, ... kini menjadi satu-satunya pengikat yang dapat menyatukan sebagian besar, jika tidak seuruhnya, negara-negara Asia-Pasifik, dalam suatu kerangka keamanan.”189 Masalahnya posisi pilar kehadiran militer AS --setelah Perang Dingin usai, menjadi kurang relevan lagi dengan mundurnya US dari Asia Tenggara. Sementara itu, di lain pihak kehadiran AS masih dianggap penting, karena ketidakpastian hubungan-hubungan strategis, terutama berkenaan dengan masalah Korea, Cina-Taiwan, dan sengketa-sengketa teritorial di Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam konstelasi seperti ini muncullah esensi kekhawatiran tentang kekosongan kekuatan (power vacuum) yang pada dasarnya menggarisbawahi kekhawatiran mengenai kemungkinan negara-negara tertentu menggunakan kekuatan militer mereka untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka di kawasan Asia-Pasifik. Meskipun kemungkinan petualangan militer oleh suatu negara masih kecil, prospek dan implikasi kekhawatiran tentang power vacuum telah mempengaruhi secara kuat pemikiran-pemikiran tentang masalah keamanan kawasan Asia-Pasifik bahwa stabilitas dan keamanan kawasan tidak dapat lagi tergantung pada kehadiran militer AS. Dengan hilangnya ancaman militer yang pasti bagi kepentingan AS, maka aturan-aturan yang mempersyaratkan dapat digunakannya kekuatan militer AS menjadi tidak jelas.190 Ini berarti negara-negara Asia- Pasifik harus lebih mandiri dalam mengembangkan kekuatan militer mereka. Alasan kedua mengapa kehadiran militer AS penting adalah karena hal ini berkaitan dengan tatanan regional. Benar bahwa selama Perang Dingin, Asia-Pasifik berada dalam situasi berbahaya karena dihadapkan pada kemungkinan pecahnya konfrontasi militer antara AS dan bekas US. Dalam situasi seperti itu AS, di samping melindungi kepentingan strategisnya sendiri, juga berperan sebagai pelindung para sekutunya dengan membentuk beberapa kerja sama keamanan bilateral dengan Jepang, Korea Selatan, Filipina, dan Thailand. Ini berarti Perang Dingin menciptakan hubunganhubungan strategis yang jelas dan pasti, meskipun berbahaya, antara dua blok, AS vs bekas US serta para sekutunya. Yang menjadi masalah --sampai kira-kira tahun 1993, dengan tatanan regional seperti di atas AS selalu menekankan pentingnya pendekatan hubungan militer bilateral, tanpa disertai upaya-upaya yang memadai untuk mengembangkan kerangka kerja sama keamanan secara multilateral di mana negara-negara di kawasan ini dapat mengembangkan persepsi dan kepentingan keamanan bersama. Bahkan ketika menghadapi kesulitan ekonomi, AS selalu menekankan pentingnya berbagi beban (burden sharing) di mana Washington akan memberikan perlindungan keamanan, sementara para sekutunya diminta untuk memberi andil secara finansial. Memang benar bahwa sejak tahun-tahun pertama dasawarsa 1990-an AS mengubah peranannya sebagai kekuatan pembendung ancaman US menjadi kekuatan penyangga stabilitas keamanan regional, sebagai kekuatan penyeimbang yang akan mampu mencegah munculnya persaingan antara kekuatan-kekuatan regional di Asia Pasifik. Sejalan dengan perubahan peran ini, 189 Lihat Lau Teik Soon, “Prospect of Security Framework ini the Asia Pasific Re-gion”, makalah disampaikan pada The Sixth International Security Forum, (Japan: The Ministry of Foreign Affairs, 24-25 Februari 1993), hal. 5-6 sebagaimana dikutip dalam Ibid. 190 Zakaria Haji Ahmad, “Images of American Power: Perspectives from Southeast Asia”, makalah Unit Pengajian Strategi dan Keselamatan (Kuala Lumpur: Strategic and Security Studies Programme Universiti Kebangsaan Malaysia, 1991), hal. 23. 85 AS juga telah mulai mengembangkan pendekatan multilateral dalam masalah-masalah keamanan Asia Pasifik. Namun yang menjadi masalah di sini adalah bahwa AS telah mewariskan tatanan regional yang untuk sementara tergantung pada kehadiran kekuatan AS, terutama untuk kawasan Asia Timur. Dengan keadaan seperti di atas, penarikan kekuatan militer AS akan membuat Asia-Pasifik dalam situasi yang tidak menentu, di mana bentuk-bentuk baru hubungan strategis pada pasca Perang Dingin masih belum jelas.191 Sehingga dapat dimengerti mengapa, dibandingkan dengan negara-negara Eropa, Asia-Pasifik lebih khawatir terhadap penarikan pasukan AS. Contohnya hubungan keamanan AS-Jepang. Kebijaksanaan pertahanan Jepang selama ini didasarkan atas aliansi bilateral dengan AS. Dengan demikian dampak penarikan kekuatan AS dari Jepang akan lebih signifikan baik terhadap Jepang maupun kawasan, karena memang aliansi AS-Jepang bersifat bilateral, tidak terkait dalam kerangka kerja sama keamanan regional multilateral sebagaimana dilakukan oleh AS para sekutunya di Eropa. Sebenarnya kepergian AS dari Fililpina dan pengurangan kekuatannya di Asia, tidak berarti AS mengakhiri kehadiran militernya di Asia Tenggara. Hal itu berulang kali ditegaskan AS dalam berbagai kesempatan. Duta Besar AS untuk Indonesia, John C. Monjo, dalam ceramahnya pada Konferensi Perdamaian, Stablilitas, dan Ketahanan Regional di Unjungpandang awal tahun 1992 menyebutkan AS tetap berniat melanjutkan perannya sebagai stabilisator di kawasan ini, yaitu peran yang diyakini AS dipahami dan disambut baik oleh sebagian besar negara Asia Tenggara.192 Untuk melaksanakan misi tersebut, kendati AS akan terus mengandalkan forward deployment force dan tatanan keamanan bilateral, tetapi AS tidak lagi mencari pangkalan militer baru di Asia Tenggara. John C. Monjo saat itu menyebutkan, memorandum of understanding (MOU) AS dengan Singapura yang ditandatangani November 1990 adalah contoh dari kerja sama tersebut. Melalui MOU November 1990 itu, Singapura menawarkan keleluasaan lebih besar kepada AS dalam menggunakan fasilitas militer Singapura untuk pemeliharaan, reparasi, dan memasok perlengkapan lainnya utnuk kapalkapal AS. Salah satu bentuk perwurjudan MOU itu adalah Singapura bersedia menerima relokasi Satuan Tugas (Task Force) 73, salah satu gugus logistik AL AS dari Subic, untuk memperluas elemen-elemen logistik AS yang sudah ditempatkan di Singapura. Penggunaan fasilitas Singapura untuk keperluan militer AS bukan hal baru. Singapore Aerospace bahkan merupakan kontraktor utama untuk depot pemeliharaan seluruh pesawat C-130 Hercules milik AL dan Korps Marinir AS yang ditempatkan di Pasifik. Disamping itu AS tetap akan mempertahankan kehadiran Armada VII yang beroperasi di kawasan Pasifik Barat dan Samudera Hindia. Nilai strategis kehadiran AS di Asia Tenggara sesungguhnya bukan ditentukan kehadiran pasukannya di Pangkalan AL Subic, melainkan kehadiran Armada VII di kawasan ini. Tanpa Armada VII, Pangkalan AL Subic tidak memiliki arti strategis militer, karena yang memiliki kemampuan sebagai satuan pemukul adalah Armada VII dan bukan Pangkalan AL Subic. Bahkan, Armada VII disebut sebagai pangkalan militer terapung, ditopang dua kapal induk yang berfungsi sebagai hanggar dan landasan pesawat tempur AS. 191 Paul M. Evans, “Managing Security Relations After the Cold War: Prospect for the Council for Security Cooperation in Asia Pacific”, Indonesian Quarterly 22, No. 1 (First Quarter 1994), hal. 63. 192 Kompas, 9 Januari 1993. 86 Dilihat dari strategi militer, Armada VII diproyeksikan untuk menjaga keseimbangan militer di Asia,193 dari segala kemungkinan yang dapat terjadi. Armada yang bermarkas di Yokosuka, Jepang, biasanya terdiri dari dua kapal induk, delapan kapal selam, 20 kapal perang, 9 kapal pendarat, 6 kapal logistik, dan dilengkapi 475 pesawat terbang. Itu merupakan kekuatan pemukul yang cukup besar. Bukan itu saja, dilihat dari jumlah personel Armada VII merupakan armada laut AS terbesar di dunia. Jumlah personel militer yang tegabung dalalm Armada VII lebih dari 40.000 orang, atau hampir separuh dari jumlah seluruh personel AS yang bertugas ke luar negeri. Dilihat dari segi anggaran, pada tahun 1999 pembiayaan Armada VII mencapai 271 milyar dolar. Jumlah ini jauh lebih besar dibanding gabungan anggaran pertahanan India, Rusia, Jepang, Cina, Taiwan dan Australia yang hanya mencapai 113 milyar dolar AS.194 Melalui Armada VII, strategi AS difokuskan pada pengawasan terhadap rantaian pulau dan pantai di Asia Timur sampai ke selatan, yang dimulai dari perairan Jepang, Taiwan, Filipina, Indonesia, dengan Singapura sebagai persinggahan utama.195 Paling tidak ada tiga sasaran pokok AS dengan pengawasan ini: (1) Kemampuan komprehensif untuk mencegah kekuatan laut Cina dan Rusia masuk ke kawasan ini jika perang meletus dikawasan ini. Jalur ini akan menjadi wilayah blokade laut untuk menahan laju angkatan laut Cina dan Rusia; (2) Mencapai posisi strategis bagi AS untuk melancarkan serbuan laut dan udara ke wilayah Asia daratan; dan (3) Pengawasan jalur laut dari Jepang, Laut Cina Selatan, Singapura dan Indonesia, dimana kekuatan laut AS dirancang untuk bersiap melancarkan perang terhadap siapapun yang bermaksud mengganggu, atau bahkan menutup jalur tersebut. Secara umum pengunduran diri AS dari Filipina, dilihat dari sifat regional serta kolektif strategi pengamanan Asia-Pasifik seperti dijelaskan diatas, sesungguhnya melahirkan keuntungan, baik bagi AS maupun bagi negara-negara Asia Tenggara. Pertama, bagi AS biayanya lebih sedikit tapi efektivitasnya tinggi. Pengurangan anggaran pertahanan dapat dipakai untuk menggerakkan perekonomian dalam negeri. Apa yang dinamakan dengan dividen perdamaian --yaitu pengalihan biaya persiapan perang untuk kepentingan damai-- lalu dianggap sebagai suatu yang nyata. Kedua, adalah bahwa dampak jangka panjang bagi stabilitas regional dianggap lebih baik, sebab negara-negara Asia- Pasifik tersebut terpaksa melakukan kerja sama yang lebih erat. Munculnya ASEAN Regional Forum pada 1994 diyakini sebagai wujud adanya kerjasama dimaksud. c) Jawaban Asia Tenggara: Pertahanan Mandiri Kendati AS tetap menjamin stabilitas keamanan Asia Tenggara dan Asia-Pasifik umumnya, seperti yang selalu disampaikan dalam berbagai forum,196 dan dipraktekkan dengan melakukan kerjasama militer bilateral dengan negara-negara di Asia Tenggara, -- 193 “Asia Tenggara di Ketiak Armada Pasifik”, Koran Tempo, 20 April 2001. 194 Far Eastern Economic Review, 12 April 2001. 195 Kompas, 12 September 1999, hal. 3. 196 Kompas, 30 April 1992, Menteri Pertahanan AS Dick Cheney, dalam rangkaian kunjungannya ke Singapura, Indonesi dan Australia akhir April 1992, menolak pendapat yang mengatakan bahwa penarikan mundur kekuatan bekas US dan AS telah mengakibatkan kekosongan militer di wilayah ini; Kompas, 4 Agustus 1995, dalam pertemuan ASEAN PMC di Bandar Seri Begawan Agustus 1995, Menlu AS Warren Crishopher, mengatakan: (1) AS akan terus menempatkan 100.000 tentaranya di Asia, setingkat dengan kekuatan AS di Eropa; (2) mekipun tentara AS telah mnudur dari Filipina, namun prajurit AS masih ada di Jepang dan Korea Selatan, disamping itu AS masih menjalin aliansi pertahanan dengan Filipina dan Thailand. 87 antara lain melalui program latihan bersama CARAT (Combined Afloat Readiness and Training)197 dan terakhir ditunjukkan dengan menggelar latihan perang bersama Tempest di kawasan Asia-Pasifik dibawah koordinasi Armada VII AS,198 negara-negara Asia Tenggara tetap merespons kondisi struktur pertahanan dengan pilihan kebijakan mengenai pentingnya keharusan melakukan pertahanan mandiri. Pertahanan mandiri ini ditafsirkan sebagai keharusan bagi negara-negara Asia Tenggara untuk meningkatkan kemampuan pertahanannya. Bagi mereka sikap ini pun sebagai rasa keterpanggilan untuk berbagi beban keamanan (burden sharing) yang selalu ditekankan AS kepada para sekutunya dikawasan ini. Peningkatan kemampuan pertahanan ini tentu saja diperlukan adanya kapabilitas militer yang memadai, dan ini yang dilakukan oleh negara-negara Asia Tenggara pasca Perang Dingin. Peningkatan kemampuan pertahanan darat, laut dan udara dilakukan serentak seperti yang digambarkan dalam Bab III di depan, dan setiap tahunnya mengalami kecenderungan yang terus meningkat. Walaupun secara konvensional kemampuan negara-negara Asia Tenggara bersifat evolutif, tetapi secara kuantitas dan kualitas terjadi peningkatan yang signifikan. Dilihat dari kepentingannya, pembangunan persenjataan pasca Perang Dingin, umumnya ditujukan untuk kepentingan sebagai berikut:199 • Brunei: perlindungan atas aset dan sumberdaya laut pantai; penguatan atas klaim teritorial (?). • Indonesia: keamanan internal; pengawasan kepulauan; perlindungan atas sumberdaya laut pantai; penguatan klaim teritorial; keamanan jalur laut. • Malaysia: perlindungan atas aset dan sumberdaya laut pantai; penguatan klaim teritorial; keamanan internal; kapabilitas persenjataan perang konvensional. • Filipina: perlindungan atas aset laut pantai dan sumberdaya maritim; pengawasan kepulauan; keamanan internal; penguatan klaim teritorial. • Singapore: keamanan jalur laut; keseriusan strategi ke depan menghadapi ancaman eksternal. • Thailand: kapabilitas persenjataan perang konvensional; perlindungan atas sumberdaya maritim; kapabilitas proyeksi kekuatan laut terbatas. • Vietnam: perlindungan atas sumberdaya maritim; kapabilitas proyeksi kekuatan laut terbatas; penguatan klaim teritorial. • Laos: keamanan internal (?) • Kamboja: perlindungan atas sumberdaya laut pantai dan keamanan internal. • Myanmar: keamanan internal; perlindungan atas aset laut pantai dan sumberdaya maritim. 197 CARAT adalah latihan bersama yang telah dilakukan sejak tahun 1995, yang dilakukan AL AS bersama AL negara-negara Asia Tenggara secara bilateral. Pada tahun 2001 CARAT telah melibatkan 1.400 personel US Navy dalam rangkaian latihan dengan Indonesia, Brunei, Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina. Lihat “TNI AL dan AS Latihan Bersama”, Media Indonesia, 18 Mei 2001, hal. 20. 198 “Mengendus Strategi Besar di Balik Operasi Tempest”, Koran Tempo, 20 April 2001. 199 Diolah dari Amitav Acharya, “An Arms Race in Post-Cold War Southeast Asia? Prospects for Control”, Pacific Strategic Papers (Singapore: ISEAS, 1994), hal. 17. Kemudian untuk Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar didasarkan atas pengamatan penulis dari berbagai sumber. 88 Perimbangan dan Proyeksi Kekuatan Militer Regional Perubahan postur pertahanan dari era ke pasca Perang Dingin akibat berkurangnya kehadiran pasukan AS sebagaimana di uraikan diatas, melahirkan persepsi power vacuum tidak saja dari negara-negara Asia Tenggara, tetapi juga dikalangan negaranegara yang dianggap sebagai kekuatan regional di Asia-Pasifik, yaitu Cina, Jepang, India dan dalam beberapa hal Australia. Upaya-upaya yang dilakukan keempat negara ini, terutama Cina dan Jepang adalah peningkatan proyeksi kekuatan militer yang dapat dilihat dari beberapa indikator berikut: anggaran belanja militer yang terus meningkat; impor senjata konvensional yang meningkat; dan modernisasi Angkatan Bersenjata. Negara-negara Asia Tenggara kemudian memandang kekhawatiran terhadap kekuatan regional ini disebabkan kemungkinan munculnya potensi konflik akibat benturan kepentingan diantara mereka untuk melindungi berbagai kepentingannya, dan adanya rivalitas kekuatan di wilayah Asia Tenggara.200 Sedari awal persepsi ancaman negara-negara Asia Tenggara di kawasan Asia- Pasifik adalah adanya interaksi empat negara besar, yaitu AS, US, Cina dan Jepang. Menurut Ali Alatas dalam pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Kuala Lumpur tahun 1991, secara substantif dinamika keempat negara ini merupakan inti persoalan yang dihadapi, dan negara-negara Asia Tenggara mau tidak mau harus menghadapi limpahan interaksi diantara negara besar tersebut.201 Ketika peran negara US (Rusia) menyurut --bahkan dikatakan hilang untuk sementara--202 dan peran AS dikatakan menjauh dari kawasan ini, peran Cina dan Jepang dikhawatirkan akan semakin menonjol dan bahkan dikhawatirkan untuk mengambil-alih peran-peran yang selama ini dimainkan US dan AS. Mengingat kepentingan-kepentingan mereka di Asia Tenggara, maka ketika Cina dan Jepang meningkatkan proyeksi kekuatan militernya, hal ini ditanggapi sebagai ancaman yang dapat menggangu stabilitas Asia Tenggara. Tanggapan ini kemudian melahirkan pembangunan militer di negara-negara Asia Tenggara dan Asia Pasifik mengikuti penalaran dilema keamanan, yang kemudian dilihat seolah-olah menunjukkan lahirnya perlombaan persenjataan di Asia Tenggara.203 Masalahnya dalam hal ini memang menjadi rumit bukan sekedar persoalan peningkatan kekuatan militer, tetapi mengingat selama ini interaksi negara-negara di Asia-Pasifik senantiasa diwarnai oleh derajat kepekaan yang tinggi. Upaya Jepang meningkatkan kapabilitas militernya untuk mewaspadai Rusia, telah mengundang reaksi keras dari Cina dan Korea. Demikian pula halnya dengan upaya Cina meningkatkan kemampuannya 200 Lihat Chandran Jeshurun (ed), China, India, Japan and the Security of Southeast Asia (Singapore: ISEAS, 1993); Sukhumband Paribatra, “Asia-Pacific Regional Security Issues”, dalam Rohana Mahmood dan Rustam A. Sani (ed), Confidence Building anf Conflict Reduction in the Pacific (Kuala Lumpur: ISIS, 1993), hal. 36 dan 40; dan Juliaus C. Parennas, China and Japan in ASEAN’s Staretgic Perceptions”, Contemporary Southeast Asia 12, No. 3 (Desember 1990), hal. 198-224. 201 Kompas, 24 September 1991. 202 Rusia malahan tidak lagi dianggap sebagai kekuatan besar dalam masalah-masalah Asia-Pasifik, hal ini disebabkan masalah ekonomi merupakan titik perhatian utama dalam hubungan internasional global, maka Rusia di kawasan Asia-Pasifik tidak mempunyai alasan lagi untuk melakukan manuver politik atau pun militer. Lihat Paul Dibb, “The Trend Towards Military Build-Up and Arms Proliferation in the Asia-Pacific Region”, Makalah yang disampaikan pada The Sixth International Security Forum, Tokyo 24-25 Februari 1993. 203 Bilver Singh, “ASEAN’s Arms Procurement: Challenge of the Security Dillema in the Post- Cold War Era”, Comparative Strategy 12 (1993), hal. 199-223. 89 untuk menghadapi Rusia dan efek dilema keamanan dari Jepang, telah mendapat reaksi negatif dari negara-negara Asia Tenggara, terutama Vietnam. Selain melalui respons penyesuaian kuantitas dan kualitas mesin perang, juga ditanggapi oleh negara-negara Asia Tenggara melalui kerjasama pengorganisasian pertahanan militer bersama. Kerjasama pertahanan rutin melalui latihan perang bilateral yang selama ini biasa dilakukan terus dilakukan, baik sesama negara ASEAN maupun antar negara anggota ASEAN dengan negara luar.204 Bahkan untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II, kelima negara yang tergabung dalam FPDA (dua dari Asia Tenggara, Malaysia dan Singapura) melakukan latihan bersama di Laut Cina Selatan (Pantai Timur Malaysia) pada tanggal 14-24 April 1997, yang menurut Menlu Malaysia Syed Hamid Albar dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap berbagai kemungkinan munculnya ancaman. Latihan yang diberi sandi “Flying Fish 97” ini melibatkan 12.000 personel dan merupakan yang terbesar yang digelar disekitar kawasan Asia Tenggara.205 TABEL 4.2. PENJUALAN SENJATA KE NEGARA-NEGARA KEKUATAN REGIONAL ASIA PASIFIK TAHUN 1987-1998 (Harga Konstan dalam juta US$ 1995) TAHUN CINA INDIA JEPANG AUSTRALIA 1987 841 3.883 1.553 .... 1988 537 3.870 1.465 .... 1989 599 3.595 1.037 .... 1990 345 2.069 1.714 .... 1991 332 1,022 1.524 253 1992 1.398 699 1.291 354 1993 603 283 2.738 487 1994 267 320 2.242 435 1995 725 450 2.300 60 1996 1.565 500 2.451 554 1997 417 500 2.242 .... 1998 469 469 2.086 .... SUMBER : Diolah dari The Military Balance 1999-00, IISS, London. KETERANGAN: .... Informasi tidak diperoleh atau tidak dapat digunakan Dari perspektif ASEAN, realitas kekuatan regional tidaklah harus dihindari, tetapi bagaimana ASEAN menjadi penyeimbang terhadap berbagai kemungkinan munculnya konflik dan rivalitas kepentingan kekuatan regional di kawasan Asia Tenggara khususnya. Oleh karenanya terkait dengan keamanan, garis politik ASEAN selama ini tidaklah bergeser dari dua hal pokok berikut: (1) Mendesak negara-negara pemilik senjata nuklir, dan terutama kesediaan Cina dan India menyepakati perjanjian kawasan bebas nuklir di Asia Tenggara. (2) Menjaga hubungan positif keempat negara pemain utama Asia-Pasifik, AS, Rusia, Cina dan Jepang dimana ASEAN menjadi kekuatan pendorong utama (primary driving force). 206 204 Antara lain latihan rutin “SEA Garuda X” yang dilakukan oleh AL Thailand dan Indonesia pada tanggal 9-14 Juli 1997 di sekitar Laut Jawa (Indonesia). Kerjasama latihan militer bilateral “Sea Garuda” sudah dimulai sejak tahun 1975. 205 Kompas, 15 dan 16 April 1997. 206 Kesepakatan pertemuan ARF ke-4 27 Juli 1997 di Kuala Lumpur; dan Kese-pakatan ASEAN PMC di Singapura, 27-28 Juli 1999. 90 (3) Memajukan dan mendorong akomodasi persoalan-persoalan keamanan dalam Forum Regional ASEAN, dengan melibatkan negara intra dan luar kawasan secara seimbang. Perimbangan kekuatan regional di kawasan Asia-Pasifik memang dilihat sebagai isu yang sangat sensitif oleh pihak manapun yang berkepentingan di kawasan ini. Munculnya dominasi dari salah satu kekuatan regional akan dipandang sebagai ancaman oleh kekuatan regional lainnya. Cina dan Rusia misalnya sangat berkepentingan agar dominasi AS yang sangat kuat setelah berakhirnya Perang Dingin dikawasan ini tidak menjadi sentral kekuatan unipolar, dan sebagai alternatifnya kedua negara ini --bersamasama India-- mengetengahkan tentang perlunya membangun dunia multi-polar.207 Karenanya bisa dimaklumi, ketika AS berencana membangun sistem pertahanan antirudal, mendapat reaksi keras dari Cina dan Rusia. Wujud penentangan Rusia bahkan ditunjukkan dengan menegaskan kembali kehadirannya di kawasan ini melalui “kemitraan strategis” dengan Vietnam yang ditandatangani pada 1 Maret 2001 oleh Presiden Vladimir Putin dan Presiden Tran Duc Luong di Hanoi.208 TABEL 4.3. PERINGKAT NEGARA-NEGARA KEKUATAN REGIONAL ASIA-PASIFIK DALAM 50 BESAR NEGARA PENERIMA/PEMBELI SENJATA KONVENSIONAL UTAMA PADA PASCA PERANG DINGIN PENERIMA 1989-93 1990-94 1991-95 1992-96 CINA 10 13 7 7 INDIA 1 5 6 5 JEPANG 2 2 4 9 AUSTRALIA 16 22 22 21 SUMBER: Diolah dari SIPRI Yearbook: World Armamaent and Disarmament 1994, 1995, 1996, dan 1997, SIPRI, Stockholm. a) Cina Anggaran belanja militer dan persenjataan. Setelah berakhirnya Perang Dingin, pengeluaran belanja militer Cina terus mengalami penaikan, walaupun dari aspek persentase GDP mengalami penurunan. Pada tahun 1991 Cina membelanjakan 21.21 milyar $AS (atau 5.71% dari GDP), kemudian menaikan anggarannya menjadi 23.99 milyar $AS (3.44% dari GDP) pada tahun 1995, dan menjadi 39.8 milyar $AS (4.05% dari GDP) pada tahun 1998. TABEL 4.4. KAPABILITAS ANGGARAN BELANJA MILITER DAN PERSONEL ANGKATAN BERSENJATA CINA TAHUN Angaran Militer dalam Milyar Yuan (Milyar $AS) GNP dalam Milyar Yuan (Milyar $AS) Jumlah Personel Tentara (ribu) Penduduk (Juta) Anggaran Militer sebagai % dari GDP Anggaran Militer per kapita ($AS) Jumlah Tentara per 1000 penduduk 1988 72.03 (19.36) 1401.50 (376.53) 3,700.0 1,072.00 5.14 18.06 3.45 1989 83.26 (19.36) 1,590.70 (422.49) 3,900.0 1,104.90 4.58 17.52 3.53 1990 95.91 (20.02) 1,768.60 (363.77) 3,500.0 1,115.55 5.50 17.95 3.13 1991 109.12 (21.21) 1,975.90 (371.20) 3,200.0 1,132.07 5.71 18.74 2.82 207 “Menuju Aliansi RI, Cina dan India”, Kompas 31 Oktober 1999, hal. 3. Kesepakatan ini dicapai setelah Presiden Rusia Boris Yeltsin bertemu dengan Presiden Cina Jiang Zemin pada Agustus 1999. 208 “Rusia-Vietnam Sepakat Beraliansi”, Kompas 2 Maret 2001, hal. 2. 91 1992 124.81 (24.30) 2,404.00 (436.30) 3,200.0 1,148.59 5.56 21.15 2.79 1993 142.88 (24.81) 3,000.00 (507.50) 3,200.0 1,171.71 4.89 21.19 2.73 1994 179.55 (20.64) 4,380.00 (509.00) 3,200.0 1,190.00 4.05 17.34 2.69 1995 208.75 (23.99) 5,800.00 (696.28) 2,900.0 1,201.00 3.44 18.99 2.41 1996 242.15 (30.27) 6,800.00 (850.00) 2,935.00 1,210.47 3.56 24.99 2.42 1997 291.73 (34.73) 7,477.00 (890.15) 2,935.00 1,211.21 3.90 28.67 2.42 1998 334.32 (39.8) 8,262.08 (983.58) 2,840.00 1,221.62 4.05 32.85 2.32 SUMBER : Jasjit Sing, “Trends in Defence Expenditure”, dalam Asian Strategic Review 1998-1999 (New Delhi: IDSA, 1999), hal. 90. CATATAN: Berdasarkan estimasi anggaran pertahanan Cina dalam Yuan dan nilai tukar dengan dolar AS. Demikian juga halnya dalam pengeluaran anggaran untuk pembelanjaan persenjataan, secara umum mengalami kenaikan dibanding periode Perang Dingin, dan mengalami puncaknya pada tahun 1992 dengan membelanjakan 1.398 juta $AS dan tahun 1996 sebesar 1.565 $AS. Kemudian dilihat dari ranking negara-negara penerima senjata konvesional utama Cina menempati ranking 7 (dari 50 besar negara penerima senjata) pada periode tahun 1992-96, lebih tinggi dibanding ranking 13 pada tahun 1990- 94. Disamping mengakuisisi melalui impor, Cina juga memiliki kapabilitas industri pertahanan untuk memasok kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Ekspor senjata Cina pada tahun 1992-1998 berada dalam kelompok 34-45% dari pangsa pasar perdagangan senjata dunia. Modernisasi dan pembangunan kekuatan militer. Dalam hal pembangunan kekuatan militer, Cina mendapat banyak sorotan dan sekaligus menimbulkan kekhawatiran di pihak lain. Walaupun kapabilitas kekuatan militer terus menurun secara kuantitas,209 tetapi dari segi kualitas Cina terus meningkatkan kemampuan mesin perangnya. Kekuatan udara Cina kini telah diperkuat dengan pesawat jenis SU-27SJ, SU-30MKK dan kelas J-7/8, 120 pembom menengah H-6E/F. Kekuatan Laut Cina, terus ditingkatkan terutama penambahan Kapal Selam, Kapal Penghancur dan Frigat, serta sedang memesan satu kapal induk, sebagai bagian dari program mengembangkan kemampuan operasi laut biru (blue navy capability) atau operasi samudera. Dengan modernisasi ini kini Cina memiliki kemampuan proyeksi militer di luar batas-batas nasionalnya.210 Kapabilitas militer (penggelaran dan akuisisi persenjataan) lengkap Cina lihat lampiran D. Kepentingan Cina di Asia Tenggara. Ada dua kepentingan utama Cina di kawasan ini, yang menjadi kehawatiran banyak pihak mengingat setiap keputusan dan kebijakan Cina atas dua masalah ini selalu menimbulkan potensi instabilitas. (1) Masalah Taiwan yang letaknya berdekatan dengan Asia Tenggara. Bagi Cina klaim atas Taiwan merupakan harga mati bagi. Dalam pertemuan ARF ke-6 di Singapura Menlu Cina Tang Jiaxuan memperingatkan seluruh anggota ARF untuk tidak ikut campur tangan dalam masalah Taiwan yang dianggapnya sebagai wilayah dan 209 Lihat Katsuhiko Mayama, “Chinese People’s Liberation Army: Reduction in Force bya 500,000 and Trend of Modernization”, National Institute for Defence Studies Security Reports No. 1 (March 2000), hal. 116-134. 210 Lihat Larry M. Wortzel, “China Pursues Great-Power Status”, Orbis 38, No. 2 (Spring, 1994), hal. 157-175; dan Bin Yu, “Sino-Russian Military Relations: Implication for Asian-Pacific Region”, Asian Survey 33, No. 3 (Maret 1993), hal. 307-308. 92 kedaulatan Cina,211 dan semata-mata persoalan dalam negeri Cina. Keengganan Cina untuk mem-formal-kan ARF antara lain kekhawatiran Cina atas kemungkinan ARF dimanfaatkan Taiwan untuk memaksa Cina duduk dalam perundingan multilateral. (2) Masalah Laut Cina Selatan. Banyak pihak khawatir bahwa modernisasi kemampuan angkatan bersenjata akan digunakan untuk meningkatkan supremasi militer Cina atas negara-negara tetangganya yang terlibat dalam sengketa teritorial di Laut Cina Selatan. Ini sangat beralasan, karena Cina merupakan satu-satunya kekuatan yang pernah menggunakan kekuatan militer dalam sengketa kepulauan di Laut Cina Selatan, sebagaimana ditunjukkan dalam pertempuran laut denga Vietnam pada bulan Maret 1988 yang lalu. Selain itu pada tahun1992 Cina juga merebut dua pulau di wilayah yang kini jadi ajang perebutan tersebut.212 Untuk memperkuat klaimnya, pada bulan Februari 1992, Cina mengeluarkan undang-undang tentang wilayah teritorial yang antara lain mengklaim seluruh kepulauan di Laut Cina Selatan. Perilaku Cina ini mendorong negara-negara tetangga untuk memperkuat kekuatan militer mereka.213 b. Jepang Anggaran belanja militer dan persenjataan. Sama halnya dengan Cina, setelah berakhirnya Perang Dingin, pengeluaran belanja militer Jepang pun mengalami kenaikan, walaupun dari aspek persentase atas GDP relatif konstan. Pada tahun 1991 Jepang membelanjakan 32,68 milyar $AS (atau 0.97% dari GDP), kemudian menaikan anggarannya menjadi 51.00 milyar $AS (1.00% dari GDP) pada tahun 1995, dan terjadi penurunan menjadi 40,90 milyar $AS (1.00% dari GDP) pada tahun 1997. Walaupun terjadi penurunan pada tahun 1997, jumlah anggaran yang dikeluarkan Jepang masih diatas anggaran militer Cina. Dalam hal pengeluaran anggaran untuk pembelanjaan persenjataan, mengalami kenaikan hampir dua kali lipat dibanding periode Perang Dingin, dan mengalami puncaknya pada tahun 1993 dengan membelanjakan 2.738 juta $AS dan tahun 1996 sebesar 2,451 juta $AS. Dilihat dari ranking negara-negara penerima senjata konvesional utama Jepang menempati ranking 7 (dari 50 besar negara penerima senjata) pada periode tahun 1992-96, lebih rendah dibanding ranking 4 pada tahun 1991-95. Disamping mengakuisisi melalui impor, Jepang juga memiliki kapabilitas industri pertahanan untuk memasok kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Tetapi ekspor senjata Jepang pada tahun 1992-1998 hanya berada dalam kelompok 0-1% dari pangsa pasar perdagangan senjata dunia. Modernisasi dan pembangunan kekuatan militer. Dalam hal pembangunan kekuatan militer, kekuatan militer Jepang berorientasi defensif. Tetapi walaupun demikian, Jepang merupakan kekuatan militer terkuat dan paling modern di Pasifik Barat. Selain itu, menurut para pengamat, kekuatan ekonomi, teknologi, dan industri Jepang bilamana perlu dapat diubah untuk tujuan-tujuan militer.214 Kapabilitas militer (penggelaran dan akuisisi persenjataan) lengkap Jepang lihat lampiran). 211 Republika, 27 Juli 1999. 212 Lee Lai To, “ASEAN-PRC Political and Security Cooperation: Problems, Proposals, and Prospects”, Asian Survey 33 No. 11 (November 1993), hal. 1098. 213 William T. Tow, “Reshaping Asian-Pacific Security”, Journal of East Asian Affairs 8, No. 1 (Winter/Spring 1994), hal. 94. 214 Prasetyono, Op.Cit, hal. 506. 93 Kepentingan Jepang di Asia Tenggara. Negara-negara Asia-Pasifik menaruh perhatian dan kecemasan terhadap Jepang, karena pengalaman penjajahan Jepang semasa Perang Dunia II. Oleh karena itu, meskipun hubungan ekonomi antara Jepang dan negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara terjalin erat, peran Jepang dalam masalah keamanan dan militer masih merupakan isu sensitif. Perhatian terhadap Jepang memang beralasan karena besarnya kepentingan Jepang di Asia Timur dan Asia Tenggara. 40% dari total perdagangan dunia dan sekitar 80% pasokan minyak untuk Jepang melalui perairan di kawasan ini.215 Selain itu kawasan ini juga merupakan pemasok bahan-bahan mentah untuk keperluan industri Jepang, pasar bagi barang-barang Jepang, dan yang lebih penting lagi kini menjadi jaringan ekonomi Jepang. Ini berarti setiap perubahan di Asia Timur dan Asia Tenggara akan berpengaruh besar terhadap Jepang. TABEL 4.5. KAPABILITAS ANGGARAN BELANJA MILITER DAN PERSONEL ANGKATAN BERSENJATA JEPANG TAHUN Angaran Militer dalam Milyar Yen (Milyar $AS) GNP dalam Milyar Yen (Milyar $AS) Jumlah Personel Tentara (ribu) Penduduk (Juta) Anggaran Militer sebagai % dari GDP Anggaran Militer basis per kapita ($AS) Jumlah Tentara per 1000 penduduk 1988 3,918.9 (28.41) 367,388.00 (2,366.86) 245.0 122.090 0.97 194.09 2.01 1989 3,920.0 (30.09) 396,500.00 (2,874.02) 247.0 123.637 1.04 141.85 1.99 1990 41,59.3 (28.12) 430,202.50 (2,971.2) 250.0 123.599 0.99 137.92 2.02 1991 4,402.0 (32.68) 450,795.00 (3,346.5) 250.0 124.096 0.97 263.34 2.01 1992 7,418.8 (58.60) 463,850.00 (3,662.5) 250.0 124.593 1.60 470.33 2.02 1993 4,640.0 (39.71) 468,769.87 (4,216.0) 250.0 124.834 0.98 318.00 2.02 1994 4,684.5 (45.80) 469,240.00 (4591.0) 237.7 125.271 0,99 364.83 1.90 1995 4,800.0 (51.00) 481,000.00 (5,100.0) 239.5 125.213 1.00 407.30 1.91 1996 4,800.0 (44.50) 481,000.00 (4,400.0) 235.5 125.538 1.00 366.42 1.88 1997 4,900.0 (40.90) 507,000.0 (4,200.0) 242.6 126.189 1.00 316.98 1.92 1998 4,900.0 (35.20) - - - - - - SUMBER : Jasjit Sing, “Trends in Defence Expenditure”, dalam Asian Strategic Review 1998-1999 (New Delhi: IDSA, 1999), hal. 97. CATATAN: Berdasarkan estimasi anggaran pertahanan Jepang dalam Yen dan nilai tukar dengan dolar AS. Kebijaksanaan keamanan Jepang, sejauh ini tetap tidak berubah yang dikoordinasi bersama-sama dengan AS dalam suatu aliansi militer. Walaupun terjadi perdebatan dikalangan masyarakat dan parlemen Jepang mengenai peran Jepang di dunia Internasional,216 aliansi ini tetap dipandang telah memberikan perlindungan keamanan terhadap Jepang, juga membatasi kekuatan militer Jepang dan sekaligus memberikan jaminan bahwa Jepang tidak akan bertindak secara independen untuk melindungi kepentingannya di kawasan Asia-Pasifik. Akibatnya, peran regional Jepang sangat terbatas dan sebagian besar dirumuskan dalam bentuk peran ekonomi dan politik. Karena Jepang sangat sensitif terhadap perubahan internasional, maka yang menjadi pertanyaan adalah apa yang akan dilakukan oleh Jepang jika perlindungan AS dipandang tidak cukup memberi jaminan keamanan kepada Jepang. 215 Leszek Buszynski, “ASEAN’s Security Dilemmas”, Survival 34, No. 4 (Winter 1993), hal. 95. 216 Lihat Bantaro Bandoro, “Visi dan Pilihan Strategis Jepang Pasca Perang Dingin: Implikasinya untuk Keamanan Asia-Pasifik dan Peran ASEAN”, Analisis CSIS, Tahun XXIII No. 6 (November- Desember 1994), hal. 517-529. 94 Memang benar terdapat beberapa hambatan terhadap kekuatan militer dan kemungkinan bangkitnya kembali militerisme Jepang. Batasan-batasan tersebut antara lain: anggaran pertahanan harus berkisar 1% dari pendapatan nasional (GNP), prinsipprinsip non-nuklir, tidak mengubah pasal 9 konstitusi Jepang, dan bahwa Jepang tidak akan mengambil alih seluruh tanggung jawab masalah pertahanan dan keamanan nasionalnya.217 Selain itu, masalah-masalah militer selalu menjadi isu sensitif dalam politik dalam negeri dan luar negeri Jepang. Namun, semua itu tidak berarti bahwa kewaspadaan dan kekhawatiran terhadap Jepang telah hilang. Kemungkinan Jepang melakukan tindakan-tindakan seperti yang pernah dilakukan pada Perang Dunia II memang hampir mustahil. Tetapi yang dikhawatirkan adalah munculnya situasi218 dan evaluasi Jepang mengenai ancaman regional219 yang dapat mendorong Jepang mengambil opsi militer. Situasi dan evaluasi ini dapat dilihat dalam beberapa dimensi: jika aliansi pertahanan AS-Jepang dipandang tidak lagi mampu memberi jaminan keamanan pada Jepang, hal ini terkait dengan sejauhmana AS akan mempertahankan komitmen keamanannya di Asia-Pasifik; jika lingkungan strategis di sekitar Jepang berubah secara drastis misalnya tidak selesainya masalah nuklir di semenanjung Korea, hal ini terkait dengan sejauhmana tingkat perubahan di Korea Utara ke arah yang kondusif atau sebaliknya; jika Cina makin keras mengklaim kedaulatan atas Taiwan, Kepulauan Senkoku di Laut Cina Timur, dan pulau-pulau di Laut Cina Selatan, hal ini terkait dengan sejauhmana penilaian Jepang atas arah kebijakan luar negeri Cina; dan jika sengketa pulau-pulau di utara Jepang antara Rusia-Jepang semakin eskalatif, hal ini terkait dengan sejauhmana Rusia menerapkan diplomasinya di Asia Timur. Dalam kompleksitas masalah keamanan Jepang dan kaitannya dengan keamanan regional itulah hubungan keamanan AS-Jepang, pengurangan kehadiran pasukan AS, masalah berbagi beban menjadi isu sensitif bagi Asia-Pasifik.220 c) India Anggaran belanja militer dan persenjataan. Walaupun nilainya lebih kecil dibanding Jepang dan Cina, setelah berakhirnya Perang Dingin pengeluaran belanja militer India terus mengalami penaikan, walaupun dari aspek persentase atas GDP mengalami penurunan. Pada tahun 1991 India membelanjakan 6.68 milyar $AS (atau 2,65% dari GDP), kemudian menaikan anggarannya menjadi 8,03 milyar $AS (2.21% dari GDP) pada tahun 1995, dan menjadi 10.53 milyar $AS (2.31% dari GDP) pada tahun 1999. Tetapi dalam pengeluaran anggaran untuk pembelanjaan persenjataan, jumlahnya mengalami penurunan drastis dibanding periode Perang Dingin. Kalau pada tahun 1988 India membelanjakan 3.870 juta $AS, maka pada tahun 1991 menjadi sebesar 1.022 juta 217 Hikmahanto Juwana, “Japan’s Defense Conception and Its Implication for South-east Asia”, Indonesian Quarterly XXI, no.4 (Fourth Quarter, 1993), hal. 486. 218 Jusuf Wanandi, “The Trend Toward Military Build-up and Arms Proliferation ini the Asia- Pacific Region”, Occasional Paper, M 104/1993 (Jakarta: CSIS), hal 8 sebagaimana dikutip oleh Prasetyono, Op.Cit., hal. 509. 219 Lihat Bantaro Bandoro, “Isu Keamanan di Asia-Pasifik: Rekomendasi untuk ASEAN dan Indonesia”, Analisis CSIS, Tahun XXII No. 4 (Juli-Agustus 1993), hal. 309; Lihat juga Alexei V. Zagorsky, “Confidence Building Measures: An Alternative for Asia-Pacific Security?,” Pacific Review 4, No. 4 (1991), hal. 348; Peter Polomka, “East Asian Security in A Changing World: Japan’s Search for a ‘Third Way’”, Korean Journal of Defence Analysis IV, No. 2 (Winter 1992), hal. 72-73. 220 Yusron Ihza Mahendra, “Fakta Pertahanan Jepang-Amerika”, Kompas 25 Februari 2001, hal. 3. 95 $AS, dan menjadi lebih kecil lagi pada tahun 1997 yang hanya membelanjakan sebesar 500 juta $AS saja. Sementara dilihat dari ranking negara-negara penerima senjata konvesional utama India menempati ranking 5 (dari 50 besar negara penerima senjata) pada periode tahun 1992-96, lebih rendah dibanding ranking 1 pada tahun 1989-93. Disamping mengakuisisi melalui impor, India juga memiliki kapabilitas industri pertahanan untuk memasok kebutuhan dalam negeri dan ekspor, tetapi ekspor senjata India pada tahun 1992-1998 hanya berada dalam kelompok 0-1% dari pangsa pasar perdagangan senjata dunia. Modernisasi dan pembangunan kekuatan militer. Pembangunan angkatan udara dan laut India, salah satu yang disorot oleh negara-negara Asia Tenggara. Hal ini dikarenakan India mengembangkan pangkalan laut dan udara di Kepulauan Nicobar dan Andaman yang sangat strategis dan dekat ke Asia Tenggara --dan diberi nama FORTAN (Fortress Commander for Andaman and Nicobar).221 India merupakan kekuatan utama di Samudra Hindia, dan saat ini India telah memiliki satu kapal induk. Kapabilitas militer (penggelaran dan akuisisi persenjataan) lengkap India lihat lampiran. TABEL 4.6. KAPABILITAS ANGGARAN BELANJA MILITER DAN PERSONEL ANGKATAN BERSENJATA INDIA TAHUN Angaran Militer dalam Milyar Rs. (Milyar $AS) GNP dalam Milyar Rs. (Milyar $AS) Jumlah Personel Tentara (ribu) Penduduk (Juta) Anggaran Militer sebagai % dari GDP Anggaran Militer per kapita ($AS) Jumlah Tentara per 1000 penduduk 1988 133.41 (9.21) 3,957.82 (273.33) 1,360.0 812.0 3.37 11.34 1.67 1989 144.16 (8.66) 4,568.21 (274.37) 1,260.0 825.0 3.17 10.15 1.53 1990 154.26 (8.60) 5,355.34 (298.51) 1,200.0 843.0 2.88 10.20 1.42 1991 163.47 (6.68) 6,167.99 (252,06) 1,200.0 858.0 2.65 7.79 1.40 1992 175.82 (6.12) 7,059.18 (245.54) 1,150.0 877.0 2.49 6.98 1.31 1993 218.45 (6.99) 8,769.52 (280.62) 1,150.0 892.0 2.49 7.84 1.29 1994 232.45 (7.40) 10,378.42 (330.52) 1,100.0 910.0 2.24 8.13 1.21 1995 268.56 (8.03) 12,179.63 (364.11) 1.100.0 934.2 2.21 8.60 1.18 1996 295.05 (8.31) 14.098.49 (397.14) 1,145.0 950.6 2.09 8.74 1.20 1997 352.78 (9.49) 15,635.52 (420.76) 1,145.0 973.9 2.26 9.74 1.18 1998 412.00RE (9.81) 17,668.14E (420.67) 1,100.0 981.0 2.33 10.00 1.12 1999 456.94BE (10.53) 19,788.31E (456.16) 1,100.0 989.0 2.31 10.65 1.11 SUMBER: Jasjit Sing, “Trends in Defence Expenditure”, dalam Asian Strategic Review 1998-1999 (New Delhi: IDSA, 1999), hal. 92. CATATAN: Berdasarkan estimasi anggaran pertahanan India dalam Rs. dan nilai tukar dengan dolar AS. Kepentingan India di Asia Tenggara. Sebenarnya India tidak memiliki kepentingan keamanan langsung di Asia Tenggara, tetapi India memandang penting kawasan ini bagi kepentingan strategis India.222 Dari sisi keamanan, kepentingan-kepentingan India yang dapat diidentifikasi di Asia Tenggara adalah wilayah perbatasan langsung (darat) yang 221 Wisnu Dewanto, “India: Kekuatan Militer Asia yang Sedang Tumbuh”, Analisis CSIS, Tahun XIX No, 6 (November-Desember 1990), hal. 585. 222 “Ministry of Defence, Goverment of India Annual Report 1999-2000: National Security Environment”, Documentation AGNI Studies in International Strategic Issues, Vol. V No. 2 (May-August 2000), hal. 75. 96 sangat panjang dengan Myanmar, perbatasan wilayah laut dengan Myanmar, Indonesia, Thailand dan Malaysia. Sementara dari sisi historis, satu-satunya kepentingan yang dapat menarik perhatian India di Asia Tenggara adalah keberadaan etnis keturunan India di Malaysia, Singapura dan Indonesia. Persentase etnis keturunan India di Malaysia adalah 9% dari keseluruhan jumlah penduduk, Singapura (6,4%) dan Indonesia (sebagian kecil saja).223 Namun masalahnya adalah seberapa jauh dan bagaimana pembangunan kekuatan militer India dipandang oleh kekuatan regional lain, terutama Cina dan Jepang, sebagai pesaing yang akan mempertajam persepsi ancaman satu sama lain di Asia Tenggara. Dengan masih adanya kecurigaan-kecurigaan dan konflik-konflik regional, menurunnya kehadiran AS di Asia Pasifik, maka sangat beralasan bahwa peningkatan kekuatan militer Cina, Jepang, dan India dapat mendorong negara-negara lain di kawasan ini untuk juga memperkuat kemampuan militer mereka. d) Australia Kondisi obyektif saat ini, kecuali untuk kawasan Pasifik Barat dan Oceania, kekuatan Australia di Asia-Pasifik bukanlah merupakan kekuatan regional. Yang menjadi perhatian dari negara-negara lainnya, adalah karena Australia merupakan sekutu paling setia AS di kawasan ini. Sejak keterlibatan dalam proses Jajak Pendapat di Timor Leste Agustus 1999, Australia tampaknya mencoba mengambil peran sebagai “wakil” AS sebagai “polisi regional” di kawasan ini. Dalam kunjungannya ke Australia 17 Juli 2000, Menteri Pertahanan AS William Cohen mengatakan “(Washington) akan mengandalkan kepemimpinan Australia untuk merumuskan kebijakan kami di kawasan ini”.224 Hal ini kemudian tampak dari revisi perencanaan pembangunan militernya untuk jangka sepuluh tahun mendatang yang dirancang dalam Defense White Paper Australia awal tahun 2001. Australia juga memperkenalkan perubahan doktrin pertahanannya, dari “defence Australia” menjadi “forward deployment” dengan membentuk pasukan yang siap dikirim ke wilayah konflik di sekitarnya. Australia menganggap kawasan disekitarnya sebagai lingkungan yang tidak stabil (the arc of instability) yang membujur mulai dari Indonesia hingga Pasifik Selatan.225 Melalui perubahan ini bukan tidak mungkin untuk jangka panjang Australia berusaha menjadi kekuatan regional. Kapabilitas militer (penggelaran dan akuisisi persenjataan) lengkap Jepang lihat lampiran D. Dengan demikian kepentingan keamanan Australia di kawasan Asia Tenggara adalah menjaga stabilitas kawasan yang dianggapnya selalu bergejolak. Pintu masuk Australia adalah melalui organisasi FPDA, yang beranggotakan Inggris, Selandia Baru, Australia, Malaysia dan Singapura. Pintu lainnya adalah Timor Leste yang dijadikannya sebagai wilayah penyangga (buffer zone) kebijaksanaan keamanan nasional dan politik luar negeri.226 Kemudahan Pasar Senjata: Dari Sellers Market ke Buyers Market Sistem perdagangan senjata internasional pasca Perang Dingin telah memberikan berbagai kemudahan dalam penjualan senjata. Faktor inilah yang ikut memacu pembelian senjata negara-negara negara-negara Asia Tenggara. Faktor ini menjadi penting 223 Military Technology, Vol. XVII, No. 1, 1993 224 Majalah Suara Hidayatullah, Agustus 2000. 225 Antara, 14 April 2001. 226 Kompas, 19 September 1999. 97 mengingat kemampuan ekonomi saja belum cukup untuk mendapatkan senjata canggih, apabila pihak produsen tidak mau menjual senjata tersebut pada pihak yang ingin membeli. Pada periode Perang Dingin, sistem penjualan senjata lebih berpola tradisional, dimana penjualan senjata selain mempunyai implikasi politik juga bersifat selektif. Negara-negara produsen senjata dalam Blok Barat, terutama AS dan sekutunya, membatasi penjualan senjata pada negara-negara, yang secara ideologi, politik, dan ekonomi, berhubungan dekat dengan mereka. Demikian juga US, hanya mensuplai senjata pada negara-negara dalam Blok Komunis atau yang mempunyai hubungan politik bersahabat dengannya. Sementara dalam hal prosedur, penjualan senjata dilakukan bertahap sesuai standar yang diberikan oleh penjual dan dikontrol sangat ketat oleh pemerintah.227 Tipe dan kapasitas senjata yang dijual pun mempunyai berbagai persyaratan dan pembatasan. AS, misalnya, tidak akan menjual teknologi pertahanannya yang paling mutakhir pada Thailand kendati negara ini merupakan sekutu AS. Sistem perdagangan senjata model ini disebut dengan “sellers market (pasar penjual)”, yaitu penjual yang menentukan senjata apa yang dapat diperoleh dan dengan kondisi dan persyaratan apa saja. Pada periode pasca Perang Dingin, pola diatas mengalami pergeseran pola. Ninok Leksono Dermawan228 sebenarnya telah mendapati adanya pergeseran ini sejak pertengahan tahun 1980-an, dimana walaupun pola lama sama sekali tidak lenyap tetapi sistem perdagangan senjata internasional sudah bergerak ke arah pola baru dengan berbagai kemudahan dalam persyaratan. Tetapi dengan berakhirnya Perang Dingin pergeseran ini bersifat lebih drastis, kontrol ketat penjual kepada pembeli bahkan sudah tidak lagi menjadi stempel dalam perdagangan senjata internasional. Sistem penjualan senjata ini kemudian dikenal dengan istilah “buyers market (pasar pembeli)”. Artinya, pembeli berada pada posisi penawaran yang lebih kuat dan bahkan dapat menuntut berbagai macam (dan kemudahan) persyaratan dari para produsen, baik dari segi mutu (dapat membeli senjata yang sebelumnya tidak bisa di jual kepadanya), kompensasi harga, pengalihan teknologi, layanan purna jual, dan sebagainya. Adanya pergeseran ini antara lain disebabkan beberapa hal berikut: Pertama, pasca Perang Dingin dimana polaritas dan konstelasi hubungan antarnegara mengalami perubahan-perubahan mendasar, banyak negara Barat maupun blok Timur mengalami tekanan-tekanan tentang peace dividend. Terjadinya penurunan anggaran pertahanan akibatnya berpengaruh besar terhadap industri militer. Sejumlah negara produsen persenjataan kini mengalami surplus persenjataan. Kedua, terjadinya penurunan permintaan persenjataan secara besar-besaran, pada negara-negara militer tradisional, semakin meningkatkan kompetisi antara produsen senjata untuk mendapatkan pangsa pasar baru. Meningkatnya jumlah produsen senjata 227 AS misalnya menerapkan prosedur program ekspor dalam tiga kategori: Program Bantuan Militer (Military Assistance Program/MAP); Penjualan Pemerintah ke Pemerintah (Foreign Military Sales/FMS); dan Perdagangan komersial dari Perusahaan ke Pemerintah pembeli (Commercial Sales/CS). Dalam tahapan ini pun penjualan sangat selektif, dimana wewenang Kongres masih sangat dominan dalam memutuskan setiap rencana penjualan senjata yang dimajukan oleh pemerintah. Lebih lanjut lihat dalam M.T. Smith, “U.S. Foreign Military Sales: Its Legal Requirements, Procedurs, and Problems” dalam Uri Ra’anan, Roberts L. Pfaltzgraff, Jr., dan Geoffrey Kemp (ed), Arms Transfers to the Third World: The Military Buildup in Less Industrial Countries (Boulder, Colorado: Westview Press, 1978), hal. 345-390. 228 Dermawan, Op.Cit., hal. 251-276. Lihat juga M.Brzoska & T. Ohlson, “The Future of Arms Transfers: The Chaning Pattern”, Bulletin of Peace Proposals, Vol. 16 No. 2 (1985), hal. 129-137. 98 pada saat menciutnya pasaran senjata telah meningkatkan tekanan pada pasar (konsumen). Ketiga, Rusia (dulu Uni Soviet), dan negara-negara pecahan Uni Soviet lainnya seperti Ukraina, muncul sebagai negara penjual senjata baru bagi negara-negara yang selama ini mengandalkan suplai senjata dari AS dan sekutu-sekutunya. Akibat desakan ebutuhan ekonomi, Rusia muncul sebagai pengobral senjata, karena senjata adalah salah satu komoditinya yang paling kompetitif.229 Keempat, Cina juga tampil sebagai negara produsen senjata dengan harga yang murah. Harga kompetitif Cina merupakan akibat dari keunggulan kompetitif buruh industri yang dimilikinya. TABEL 4.7. SUMBER/PEMASOK PERSENJATAAN NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA PADA ERA DAN PASCA PERANG DINGIN (1975-1990 DAN 1991-2000) NEGARA NEGARA SUMBER/PEMASOK PENERIMA MASA PERANG DINGIN PASCA PERANG DINGIN VIETNAM Uni Soviet Rusia, Ukraina, Israel*, dan Korea Utara LAOS Uni Soviet dan Cina Rusia dan Cina KAMBOJA Cina dan Uni Soviet Israel*, Ceko, Rusia, dan Jerman (Unifikasi Barat* dan Timur) THAILAND Amerika Serikat, Perancis, Spanyol, Italia, Korea Selatan, Jerman (Barat), Inggris, Indonesia, China, Australia, dan Belanda Amerika Serikat, Swedia, Indonesia, Ceko*, Jerman (Unifikasi Barat dan Timur*), Perancis, Swiss, Spanyol, Cina, Italia, Israel, Austria, Australia, Canada dan Ukraina* MYANMAR Denmark, Italia, dan Swiss Rusia*, Cina Polandia*, Korea Utara, dan Yugoslavia SINGAPURA Amerika Serikat, Israel, Italia, Perancis dan Inggris Amerika Serikat, Swedia, Israel, Rusia*, Perancis, Belanda dan Indonesia MALAYSIA Amerika Serikat, Perancis, Swedia, Indonesia, Italia, Belgia, Jerman, Spanyol dan Swiss Rusia*, Amerika Serikat, Ukraina*, Inggris, Korea Selatan, Italia, Indonesia, Jerman (Unifikasi Barat dan Timur*), Perancis, Belanda dan Swedia FILIPINA Amerika Serikat dan Korea Selatan Korea Selatan, Amerika Serikat, Inggris, Rusia*, Perancis, Spanyol dan Italia INDONESIA Amerika Serikat, Australia, Belanda, Spanyol, Jerman (Barat), Italia, Korea, Selatan, Perancis, Israel, Swiss dan Inggris Inggris, Rusia*, Australia, Jerman, (Unifikasi Barat dan Timur*), Amerika Serikat, Perancis, Belanda dan Slowakia* BRUNEI Inggris Inggris, Amerika Serikat, Swiss, Italia, Perancis, Indonesia dan Jerman SUMBER : Diolah dari SIPRI Yearbook: World Armament and Disarmament 1975-2000; SIPRI, Stockholm; dan The Military Balance 1975-76 sampai dengan 2000-01, IISS, London. KETERANGAN: Tanda (*) dan dicetak tebal adalah negara yang secara politik berseberangan ideologi, terutama pada masa Perang Dingin Negara-negara Asia Tenggara sebagai pihak yang dihadapkan pada keperluan untuk memiliki sistem pertahanan yang lebih modern, dan di pihak lain memiliki uang sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang baik, seolah-olah diberikan kemudahan untuk memenuhi kebutuhan akuisisi senjata. Kemudahan tersebut dilihat dari dua hal: pertama, sumber/negara pemasok yang semakin terbuka; dan kedua, nilai ekspor perdagangan senjata ke negara-negara Asia Tenggara yang semakin meningkat dibanding masa Perang Dingin. TABEL 4.8. PENJUALAN SENJATA KE NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA,1987-1999 (Harga konstan dalam juta US$ 1995) TAHUN VIET LAOS KAM THA MYAN SING MAL FIL INDO BRU 1987 2,459 .... .... 557 26 401 91 91 337 .... 229 Ball, Op.Cit., hal. 11. 99 1988 1,873 .... .... 698 25 474 50 112 350 .... 1989 1,558 .... .... 360 24 216 84 120 252 .... 1990 1,264 .... .... 333 126 287 34 126 345 .... 1991 221 .... .... 635 431 420 122 155 33 .... 1992 20 .... .... 398 161 237 140 151 54 .... 1993 20 .... .... 147 136 136 283 63 102 .... 1994 82 .... .... 400 103 236 871 92 55 .... 1995 200 .... .... 1,100 140 217 750 94 184 .... 1996 200 .... .... 700 272 543 488 104 868 .... 1997 162 .... .... 515 326 488 326 156 434 .... 1998 184 .... .... 326 314 923 347 115 380 .... 1999 174 .... .... 410 325 619 1,200 .... 767 .... SUMBER : Diolah dari The Military Balance 2000-01, IISS, London. KETERANGAN: .... Informasi tidak diperoleh atau tidak dapat digunakan Negara-negara sumber/pemasok sistem persenjataan negara-negara Asia Tenggara pasca Perang Dingin bersifat terbuka, sekarang tidak ada lagi keharusan pengaturan perdagangan senjata antar blok atau aliansi baik politis maupun ideologis. Negara yang pada masa Perang Dingin berseberangan, sekarang tidak ada hambatan untuk melakukan perdagangan senjata diantara mereka (lihat tabel 4.7.). Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN 6) yang pada masa lalu melakukan aliansi dengan blok AS sekarang tidak sungkan untuk membeli persenjataan dari negara-negara yang pada masa lalu tergabung dalam blok komunis seperti Rusia (dulu US), Eks Jerman Timur, Ceko, Ukraina, Polandia, dan Slowakia. Demikian pula negara-negara Indocina (Vietnam, Laos dan Kamboja) yang pada masa Perang Dingin beraliansi dengan blok Komunis sekarang dapat membeli persenjataan dari negara-negara yang dulu tergabung dengan blok AS seperti Israel dan Jerman (Barat). Sementara, kemudahan perdagangan pada pasca Perang Dingin dapat dilihat dari volume dan nilai penjualan senjata internasional ke negara-negara Asia Tenggara yang mengalami peningkatan pada pasca Perang Dingin dibanding pada masa Perang Dingin. Kecuali Vietnam, hampir seluruh negara-negara Asia Tenggara mengalami peningkatan volume (lihat tabel 4.8). Peningkatan ini bervariasi dan fluktuatif dari tahun-tahun ke tahun, dan masingmasing negara mengalami puncak tahun peningkatan yang berbeda satu dengan yang lain. Thailand tahun 1995 dengan nilai impor sebesar 1.100 juta dolar AS, Myanmar (1991, 431 juta dolar AS), Singapura (1998, 923 juta dolar AS), Malaysia (1994, 871 juta dolar AS), Filipina (1998, 156 juta dolar AS), Indonesia (1996, 868 juta dolar AS) dan Vietnam walaupun nilai impor senjata setiap tahun pasca Perang Dingin mengalami penurunan dibanding masa Perang Dingin, tetapi mengalami tahun puncak pembelian pada tahun 1991 dengan nilai 221 juta dolar AS, masih lebih tinggi dibanding tahun anggaran puncak Filipina. Peningkatan pembelian senjata diatas, menjadikan negara-negara Asia Tenggara termasuk dalam 50 besar negara penerima/pembeli senjata konvensional utama pada tahun 1992-1996, kecuali Laos, Brunei dan Kamboja (lihat tabel 4.9.). Peringkat tertinggi adalah Thailand (rangking 13), selanjutnya Indonesia (17), Malaysia (22), Myanmar (31), Singapura (36), Filipina (43) dan Vietnam (54). 100 TABEL 4.9. 50 BESAR NEGARA PENERIMA/PEMBELI SENJATA KONVENSIONAL UTAMA, 1992-1996 Ranking 1992-96 1991-95 Penerima 1992 1993 1994 1995 1996 1992-96 1. 1 Arab Saudi 1.105 2.889 1.577 1.401 1.611 8.583 2. 4 Turki 1.590 2.171 1.591 1.015 1.066 7.433 3. 3 Mesir 1.255 1.339 1.773 2.150 803 7.320 4. 11 Taiwan 211 1.058 835 1.305 3.234 6.643 5. 2 Jepang 2.016 1.992 621 925 679 6.233 6. 9 Cina 1.172 1.277 529 935 1.957 5.870 7. 6 Yunani 2.467 893 1.055 737 274 5.426 8. 10 Korea Selatan 387 483 611 1.909 1.727 5.117 9. 7 India 1.417 604 429 1.092 1.317 4.859 10. 5 Jerman 1.677 1.636 797 178 96 4.384 11. 12 Kuwait 998 657 44 1.048 1.363 4.110 12. 8 Israel 1.343 613 905 246 48 3.155 13. 14 Thailand 866 152 807 785 355 2.965 14. 15 Amerika Serikat 489 626 689 552 130 2.486 15. 18 Spanyol 190 602 768 465 458 2.483 16. 16 Iran 239 1.151 327 235 437 2.389 17. 22 Indonesia 69 367 792 483 537 2.248 18. 19 Finlandia 698 785 385 155 192 2.215 19. 13 Canada 876 350 673 155 137 2.191 20. 20 Uni Emirat Arab 163 618 591 368 271 2.011 21. 25 Australia 354 487 435 60 554 1.890 22. 23 Malaysia 36 21 294 1.289 143 1.783 23. 17 Inggris 1.141 45 37 122 230 1.575 24. 26 Hungaria 0 1.190 4 67 311 1.572 25. 27 Cili 260 122 158 540 124 1.204 26. 36 Brazil 48 55 258 248 490 1.099 27. 46 Oman 14 60 144 141 478 837 28. 35 Italia 67 243 149 210 166 835 29. 21 Portugal 3 379 431 17 0 830 30. 31 Swiss 293 81 116 106 212 808 31. 33 Myanmar 36 366 0 255 123 780 32. 30 Belanda 173 113 263 68 162 779 33. 24 Perancis 385 137 49 82 49 702 34. 37 Peru 143 92 160 89 204 688 35. 34 Norwegia 193 150 77 151 106 677 36. 32 Singapura 80 106 167 215 104 672 37. 29 Suriah 342 188 55 43 21 649 38. 38 Slovakia 0 211 36 260 71 578 39. 28 Aljajair 46 28 175 323 0 572 40. 62 Qatar 76 16 16 16 393 517 41. 40 Swedia 5 36 324 92 59 516 42. 42 Maroko 24 118 181 50 109 482 43. 43 Filipina 52 96 192 69 31 440 44. 52 Kazakstan 0 0 0 272 138 410 45. 54 Vietnam 0 0 0 265 118 383 46. 41 Denmark 53 42 56 164 24 339 47. 56 Siprus 46 0 61 28 195 330 48. 47 Meksiko 13 124 140 32 18 327 49. 50 Afrika Selatan 240 0 16 31 39 326 50. 53 Argentina 15 3 66 186 45 315 Lain-lain 1.474 1.672 1.961 1.559 1.571 8.237 Total 24.840 26.444 21.820 23.189 22.980 119.273 SUMBER: Diolah dari SIPRI Yearbook: World Armamaent and Disarmament 1997, SIPRI, Stockholm. Peringkat pada periode tahun 1992-1996 mengalami peningkatan yang berarti dibanding periode tahun-tahun sebelumnya (tahun 1989-1993 misalnya). Kecuali Thailand (tetap pada peringkat 13), dan Laos, Brunei dan Kamboja (tetap di luar 50 besar), Indonesia mengalami peningkatan dari sebelumnya berada di peringkat 29, Malaysia (sebelumnya berada di peringkat diluar 50 besar/>50), Myanmar (50), Singapura (39), Filipina (>50), dan Vietnam (>50). Hal ini menunjukkan bahwa pada pasca Perang Dingin penjualan senjata ke negara-negara Asia Tenggara terus mengalami peningkatan (lihat tabel 4.10.). TABEL 4.10. PERINGKAT NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA DALAM 50 BESAR NEGARA PENERIMA/PEMBELI SENJATA KONVENSIONAL UTAMA 101 PADA PASCA PERANG DINGIN PENERIMA 1989-93 1990-94 1991-95 1992-96 THAILAND 13 16 13 13 INDONESIA 29 19 18 17 MALAYSIA >50 >50 26 22 MYANMAR 50 32 32 31 SINGAPURA 39 34 36 36 FILIPINA >50 >50 >50 43 VIETNAM >50 >50 >50 45 LAOS >50 >50 >50 >50 KAMBOJA >50 >50 >50 >50 BRUNEI >50 >50 >50 >50 SUMBER: Diolah dari SIPRI Yearbook: World Armamaent and Disarmament 1994, 1995, 1996, dan 1997, SIPRI, Stockholm. Disamping kemudahan perdagangan sistem terbuka diatas, pembelian senjata dalam jumlah besar oleh negara-negara Asia Tenggara, terutama disebabkan oleh murahnya teknologi tersebut.230 Pada saat pasaran senjata masih dikontrol oleh para produsen, produk suatu negara harus menghabiskan jumlah uang yang besar untuk komoditi yang lebih sedikit. Sebaliknya sekarang dengan jumlah uang yang relatif sedikit, negara pembeli, bisa mendapatkan alat-alat perang dalam jumlah yang besar. Harga murah ini merupakan konsekuensi dari adanya kompetisi di antara para produsen senjata yang makin intensif dan terbuka, dan mereka menawarkan harga dan insentif yang menarik. Hal ini menyebabkan negara-negara Asia Tenggara sangat mudah memperoleh akses pasar senjata internasional, terutama senjata-senjata buatan Rusia. Kecuali Thailand dan Brunei, seluruh negara Asia Tenggara membeli senjata dari pasar Rusia. Faktor-faktor Domestik Kapabilitas Ekonomi Peningkatan pembelian senjata negara-negara Asia Tenggara sebagaimana digambarkan dalam Anggaran Belanja Militer/Pertahanan melalui indikator-indikator anggaran belanja dalam harga konstan, dalam tingkat harga berjalan, sebagai persentase dari GDP, dan proporsinya pada basis perkapita (lihat Bab III), selain karena adanya faktor ancaman eksternal, juga dimungkinkan oleh adanya kapabilitas ekonomi negaranegara itu sendiri. Sebagai indikator dari kapabilitas ekonomi ialah tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara dalam setiap tahunnya. Kecuali untuk rejim dengan inklinasi militeristik yang kuat, atau negara-negara dengan tingkat ancaman tinggi (seperti Korea Utara, Irak dan Suriah misalnya), umumnya negara membelanjakan sumberdayanya untuk keperluan hankam secara rasional. Program pengadaan prasarana dan sarana hankam dilakukan manakala ada cadangan keuangan yang cukup dan dilakukan seimbang dalam konteks pembiayaan pembangunan bidang-bidang lainnya.231 Dalam konteks Asia Tenggara (khususnya ASEAN 6), tingkat pertumbuhan yang dialaminya, tidaklah dapat dikatakan terjadi peningkatan dan atau juga penurunan karena perspektif perubahan dari masa ke pasca Perang Dingin, mengingat sejak awal tahun 230 Lihat Edy Prasetyono, Op.Cit., hal. 509; dan Anwar, Op.Cit., hal. 46. 231 Dermawan, Op.Cit., hal. 223. 102 1980-an, negara-negara Asia Tenggara (khususnya yang tergabung dalam ASEAN) telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang meningkat. ASEAN merupakan kawasan dunia yang tumbuh paling cepat di dunia. Postur ekonominya pun menghasilkan predikat yang membanggakan, Singapura disebut sebagai negara industri baru (Newly Industrial Countries/NICs), sementara Indonesia dan Thailand adalah negara berpendapatan menengah bawah, dan Malaysia masuk dalam kategori berpendapatan menengah atas. Malaysia dan Thailand pun pada masa itu dapat dikatakan tengah dalam proses memasuki kategori negara industri baru.232 Kecuali pada masa krisis ekonomi pada tahun 1997-1998,233 memasuki periode pasca Perang Dingin semua negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang stabil -- antara 5-10 persen (%) per tahun, dan hanya Filipina yang mengalami pertumbuhan ekonomi terendah hingga -0,6% pada tahun 1991 (lihat tabel 4.11.). Ketika krisis ekonomi regional datang,234 kecuali Singapura yang mengalami penurunan tingkat pertumbuhan hingga 1,3% pada tahun 1998-- negara lainnya mengalami penurunan ke titik negatif dibawah nol%, Thailand (-8,0%, bahkan sejak tahun 1997 sudah 0,4%), Malaysia (-6,4%), Filipina (-0,6%), dan Indonesia (-13,0%). Ketika upaya-upaya perbaikan (recovery) ekonomi dilakukan, walaupun tidak semua negara kembali pada tingkat pertumbuhan semula, pada tahun 1999 dan 2000 terjadi kenaikan untuk semua negara --Thailand (7,1 dan 5,9%), Singapura (6,9 dan 9,17%), Malaysia (9,35 dan 9,4%), Filipina (3,85 dan 4,23%) dan Indonesia (3,35 dan 4,13%). Bila dihitung rata-rata per tahun sampai sebelum masa krisis, tingkat pertumbuhan periode tahun 1991-1996 mengalami kenaikan dibanding periode tahun 1981-1990. Thailand dari 7,9% menjadi 7,93%, Singapura (6,5% menjadi 8,22%), Malaysia (5,2% menjadi 8,72%), Indonesia (6,0% menjadi 7,8%), dan Filipina (1,0% menjadi 2,98%). Adanya kenaikan ini secara umum kiranya dapat menjelaskan korelasi kapabilitas ekonomi dengan kenaikan dinamika persenjataan pasca Perang Dingin. TABEL 4.11. PERTUMBUHAN EKONOMI NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA (Persen per tahun) NEGARA 70-80 81-90 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 VIETNAM 0,5 5,0 6,0 8,6 8,1 8,8 9,5 9,3 8,8 LAOS KAMBOJA THAILAND 7,1 7,9 8,4 7,8 8,3 8,8 8,8 5,5 -0,4 -8,0 7,1 5,9 MYANMAR SINGAPURA 8,3 6,5 6,7 6,3 10,4 10,3 8,7 6,9 7,8 1,3 6,9 9,17 MALAYSIA 7,9 5,2 8,6 7,8 8,4 9,4 9,5 8,6 7,8 -6,4 9,35 9,4 FILIPINA 5,9 1,0 -0,6 0,3 2,1 4,4 4,8 5,7 5,1 -0,6 3,85 4,23 INDONESIA 7,2 6,0 8,9 7,2 7,2 7,5 8,2 7,8 4,7 -13,0 3,35 4,13 BRUNEI SUMBER : Diolah dari Caroline L. Gates, “The ASEAN Economic Model and Vietnam’s Economic Transformation: Adjusment, Adaptation, and Convergence”, dalam Mya Than and Carolyn L. Gates (ed), ASEAN Enlargement: Impacts and Implications, (Singapore: ISEAS, 2001), hal. 327; dan Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia, Vol. III No. 1, Bank Indonesia, Januari 2001; 232 Ibid, hal. 229. 233 Negara-negara Asia dan khususnya negara-negara Asia Tenggara disapu badai krisis ekonomi (melemahnya nilai tukar uang lokal terhadap dollar AS) pada pertengahan tahun 1997 sampai tahun 1988. Thailand yang paling pertama mengalami krisis (akhir 1996), disusul kemudian Indonesia, Singapura, dan Filipina. 234 “Asia Memasuki Masa Gawat”, Kompas, 13 Juni 1998. 103 KETERANGAN: Untuk tahun 1970-1980 dan 1981-1990 merupakan rata-rata dari persentase per tahun. Untuk tahun 1999 dan 2000 merupakan rata-rata dari pertumbuhan ekonomi per kuartal yang dilaporkan dalam buku tersebut Bank Indonesia. Korelasi kapabilitas ekonomi dengan tingkat (naik atau turun) pembelanjaan militer menjadi jelas dilihat dari pemeriksaan data berikut:235 • Thailand mengalami pertumbuhan ekonomi paling tinggi pada tahun 1995 dan 1996 sebesar 8,8%, hal ini kemudian diikuti oleh kenaikan tertinggi anggaran belanja militer sebesar 4,006 juta $AS (1995) dan 4,212 juta $ AS. Pada saat pertumbuhan ekonomi menurun pada tahun 1998 sebesar (-) 8,0%, anggaran belanja militer pun menurun menjadi 2,041 juta $AS. • Singapura mengalami pertumbuhan ekonomi paling tinggi pada tahun 1993 sebesar 10,4%, hal ini kemudian diikuti oleh kenaikan anggaran belanja militer sebesar 2,442 juta $AS. Pada saat pertumbuhan ekonomi lebih rendah pada tahun 1991 sebesar 6,7%, anggaran belanja militer pun lebih rendah sebesar 1,518 juta $AS. • Malaysia mengalami pertumbuhan ekonomi paling tinggi pada tahun 1995 sebesar 9,5%, hal ini kemudian diikuti oleh kenaikan anggaran belanja militer sebesar 3,514 juta $AS. Pada saat pertumbuhan ekonomi menurun pada tahun 1998 sebesar (-) 6,0%, anggaran belanja militer pun menurun menjadi 3,222 juta $AS. • Filipina mengalami pertumbuhan ekonomi paling tinggi pada tahun 1996 sebesar 5,7%, hal ini kemudian diikuti oleh kenaikan anggaran belanja militer sebesar 1,457 juta $AS. Pada saat pertumbuhan ekonomi lebih rendah pada tahun 1992 sebesar 0,3%, anggaran belanja militer pun lebih rendah sebesar 831 juta $AS. • Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 8,2% pada tahun 1995, hal ini kemudian diikuti oleh kenaikan anggaran belanja militer sebesar 4,403 juta $AS. Pada saat pertumbuhan ekonomi lebih rendah pada tahun 1999 sebesar 3,35%, anggaran belanja militer pun menurun menjadi 1,520 juta $AS. Dengan demikian dapat ditarik benang merah, bahwa saat pertumbuhan ekonomi suatu negara meningkat, maka anggaran militernya juga turut meningkat. Tetapi apabila terjadi penurunan pendapatan negara, maka anggaran militer juga akan ikut turun. Hal ini juga terjadi dalam peningkatan pembelanjaan militer negara-negara Asia Tenggara masa Perang Dingin. Tingkat kenaikan yang tajam tampak dalam anggaran militer Indonesia dan Malaysia antara tahun 1975 dan 1983 yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia. Setelah tahun 1983, dengan merosotnya harga komoditi primer tersebut juga menyebabkan menyusutnya pengeluaran anggaran militer kedua negara tersebut dari puncak yang pernah dicapai pada tahun 1983.236 Akan tetapi terlepas dari hasil pemeriksaan fakta diatas, beberapa hal sebenarnya hal ini masih dapat diperdebatkan, khususnya kasus yang dialami Singapura. Meskipun pada tahun 1998 tingkat pertumbuhan ekonomi menurun hingga 1,3%, Singapura tetap dapat membelanjakan anggaran militer sebesar 4,744 juta $AS. Hal ini masih lebih tinggi dibanding anggaran belanja militer tahun 1997 sebesar 4,122 juta $AS justeru pada saat tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai sebesar 7,8%. Satu-satunya alasan yang dapat menjelaskan ini adalah kemampuan ekonomi Singapura yang stabil dan mempunyai fundamental ekonomi yang sangat baik membuatnya bisa mempertahankan kondisi ekonomi --walaupun pada saat krisis-- lebih baik dibanding negara-negara tetangganya. 235 Data mengenai Anggaran Belanja Militer negara-negara Asia Tenggara diambil dari SIPRI Yearbook tahun 2000. 236 Anwar, Op.Cit, hal. 45. 104 Karenanya pengeluaran anggaran belanja militer relatif konstan dan stabil. Artinya pengeluaran anggaran belanja militer Singapura tidak pernah mengalami peningkatan dan penurunan yang drastis.237 Perkembangan Industri Hankam Lokal Perkembangan industri pertahanan lokal telah mendorong negara-negara Asia Tenggara untuk meningkatkan pembelanjaan senjatanya. Kecuali Brunei, Laos dan Kamboja, setiap negara Asia Tenggara lain sekarang sedang mengembangkan kemampuan teknologi untuk memproduksi senjata. Kehendak untuk mengurangi ketergantungan negara terhadap impor senjata dan keinginan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari penjualan senjata-senjata tersebut, telah memotivasi negaranegara Asia Tenggara untuk meningkatkan kemampuan sistem teknologi persenjataan dan perangkat pendukungnya, baik atas kemampuan teknologi asli (hasil rancangan sendiri) maupun atas lisensi dari negara lain. Berkembangnya industri pertahanan lokal di negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) --selain atas pertimbangan diatas, juga ditopang oleh kemajuan-kemajuan ekonomi yang mereka capai yang berjalan bersama-sama dengan perkembangan dan kemajuan teknologi yang mempunyai implikasi terhadap industri militer.238 Secara teknologi, produksi persenjatan di negara-negara Asia Tenggara, sampai sejauh ini masih cukup besar ketergantungannya terhadap lisensi dari negara asing sebagaimana dapat dilihat dari negara-negara pemberi lisensi dalam tabel 4.12. TABEL 4.12. NEGARA-NEGARA PEMBERI LISENSI PRODUKSI BAGI INDUSTRI PERTAHANAN LOKAL NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA NEGARA NEGARA PEMBERI LISENSI PENERIMA MASA PERANG DINGIN PASCA PERANG DINGIN VIETNAM, KAMBOJA, LAOS, MYANMAR DAN BRUNEI Tidak ada Tidak ada THAILAND Tidak ada Inggris, Jerman SINGAPURA Jerman Amerika Serikat, Jerman MALAYSIA Tidak ada Swiss FILIPINA Jerman, Inggris, Australia Inggris INDONESIA Belgia, Perancis, Jerman (Barat), Spanyol dan Amerika Serikat Perancis, Jerman, Spanyol, Inggris dan Amerika Serikat SUMBER : Diolah dari SIPRI Yearbook: World Armament and Disarmament 1975-2000; SIPRI, Stockholm; dan The Military Balance 1975-76 sampai dengan 2000-01, IISS, London. KETERANGAN: Vietnam walaupun tidak memiliki lisensi bukan berarti tidak memiliki industri hankam lokal, karena memiliki jenis produksi dengan hasil desain sendiri Negara Brunei --karena sumber daya manusianya terbatas, dan negara-negara Indocina (Vietnam, Laos dan Kamboja) serta Myanmar --karena masih berkutat dengan persoalan-persoalan perbaikan ekonomi akibat perang berkepanjangan tampaknya belum mau mencari sumber lisensi untuk produksi senjata, disamping belum adanya kepercayaan dari pihak industri negara asing. Tetapi walaupun tidak memiliki lisensi produksi dari negara lain, bukan berarti negara-negara tersebut tidak berusaha untuk 237 Sebagaimana dapat dilihat dalam pengeluaran anggaran belanja militer dalam harga konstan maupun dalam tingkat harga berjalan seperti tercermin dalam tabel 3.1 dan 3.2 (Bab III). 238 Michael T. Klare, “The Next Great Arms Race”, Foreign Affairs 72, No. 3 (Summer 1993), hal. 140. 105 memiliki dan memproduksi persenjataan, hanya saja baru negara Vietnam yang berhasil memiliki kapabilitas industri angkatan laut melalui hasil desain sendiri (orisinil). Adapun tipe/jenis dan klasifikasi yang dapat dihasilkan dan sedang diproduksi oleh industri pertahanan lokal, baik produksi asli (original) maupun produksi atas lisensi adalah sebagai sebagaimana apat dilihat dalam table 4.13. TABEL 4.13. JENIS/TIPE DAN KLASIFIKASI PRODUKSI UTAMA INDUSTRI PERTAHANAN LOKAL NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA (1975-1990 DAN 1991-2000) JENIS PRODUKSI NEGARA MASA PERANG DINGIN Type/Jenis (Klasifikasi) PASCA PERANG DINGIN Type/Jenis (Klasifikasi) VIETNAM • Tarantul (PFM) THAILAND • L: Fantrainer (Trainer) • L: Province Class (Patrol Craft/FAC) • Corvettes • Man Nox (LCU) • L: Khamrosin Class (FAC) • L: Province Class (Patrol Craft/FAC) MYANMAR • Houxin (PFC) • L: SF-260M (Trg Ac) SINGAPORE • L: Bell-212 Jetranger (Tpt Hel) • L: PC-57 Type (PC/FAC) • Grajau Class (Patrol Craft) • IFV (AIFV) • Fearless (OPV) • Endurance (LST) • PG-94 (PCO) • M113 (AIFV) • PN94 (PCI) • Al Tahaddy Class (Landing Craft) • L: LPD Type (Landing Ship) • L: Type 62-001 (Corvette) • Naval Base (construction) MALAYSIA • L: MD3-160 Aerokriss (Trg Ac) PHILIPPINES • L: Bo 105C (Hel) • L: BN-2A Defender (Tpt Ac) • L: Drl-9209 (CPB) • L: FS-100 Simba (APC) INDONESIA • L: C-212 Aviocar (Tpt Ac) • L: BO-105CB (Hel) • L: FPB • L: FAC • L: SA-330L Puma (Hel) • L: Bk-117 (Hel) • L: Model 412 (Hel) • L: AS-332 Super Puma (Hel) • L: BO-105CB (Hel) • L: CN-212-200 Aviocar (Tpt Ac) • CN-235 (MPA) • CN-235 M Phoenix (Tpt Ac) • L: PB-57 Type (Patrol Craft) • L: NBo-105 (Hel) • L: Hawk-100 (Jet Trainer Aircraft) • L: Hawk-200 (Fighter/Ground Attack-FGA) • L: Bell-412 (Hel) SUMBER : Diolah dari SIPRI Yearbook: World Armament and Disarmament 1975-2000; SIPRI, Stockholm; dan The Military Balance 1975-76 sampai dengan 2000-01, IISS, London. KETERANGAN: Tanda (L) adalah produksi dengan lisensi. Kepanjangan jenis/tipe senjata lihat dalam “Singkatan Senjata, Militer dan Hankam” dalam bagian akhir penelitian. Selain produksi jenis senjata yang tergolong Sistem Persenjataan Utama (alutsista), kapabilitas industri pertahanan negara-negara Asia Tenggara juga memproduksi suku-suku cadang dan sistem pendukung persenjataan lainnya, baik untuk kepentingan lokal maupun atas kerjasama dengan industri pertahanan di luar negeri (lihat tabel 4.14.). TABEL 4.14. KAPABILITAS INDUSTRI PERTAHANAN NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA NEGARA KAPABILITAS VIETNAM - Kemampuan desain dan konstruksi kapal laut tidak canggih untuk penggunaan lokal seperti kapal laut cepat kelas Tarantul - Produksi senjata kecil, seperti senjata serang laras panjang. 106 - Produksi amunisi dasar, termasuk amunisi artileri. THAILAND - Kemampuan penelitian dan pengembangan (litbang) kerangka pesawat terbatas, seperti pesawat udara ringan RTAF-5. - Litbang dasar dan kemampuan produksi sistem roket taktis. - Perakitan sistem artileri, seperti howitzer M101 105mm. - Produksi senjata kecil, seperti senjata serang laras panjang. - Produksi amunisi dasar, termasuk amunisi artileri. - Kemampuan litbang beberapa jenis elektronik, termasuk perlengkapan cryptographic. - Konstruksi kapal perang hingga dan meliputi kapal Korvet, kapal landing ships kelas Sichang, kapal landing craft kelas Man Nox dan kapal laut serang cepat kelas Sattahip dan Khamrosin. - Kemampuan litbang kapal laut terbatas, terlibat dalam desain pada kapal Frigat kelas Jianghu yang dipesan dari Cina. MYANMAR - Produksi pesawat udara tak canggih, meliputi pesawat transpor SF-260M. - Produksi amunisi dasar - Produksi senjata kecil - Konstruksi kapal perang tidak canggih kelas Houxin. SINGAPURA - Perakitan pesawat tidak canggih, seperti helikopter AS.332. - Kapasitas canggih untuk pemeliharaan pesawat, turun mesin, pembaruan dan konversi, yang tercermin dalam konversi pesawat tempur F-5E Tiger II menjadi standar pesawat intai mata-mata RF-5E Tiger dan upgrade pesawat tempur A-4 Skyhawk menjadi standar A-4SI. - Program untuk mengembangkan kapabilitas produksi pesawat, seperti misalnya keterlibatannya dalam program pengembangan helikopter multi-nasional P-120L. - Beberapa kapasitas untuk litbang kedirgantaraan. - Kapasitas produksi, pemeliharaan, turun mesin dan upgrade kendaraan tempur (infanteri) lapis baja seperti program upgrade AMX-13SM1. - Litbang dan produksi artleri canggih, seperti howitzer FH-88 155mm dan penggantinya (pelengkap). - Kapasitas pembaruan dan up-grade sistem artileri tua. - Pengembangan dan produksi senjata kecil, meliputi senjata serang SAR-80, Ultimax 100 dan mesin peluncur granat. - Produksi peluncur roket. - Produksi amunisi dasar. - Produksi perlengkapan rekayasa seperti sistem jembatan mobil. - Kapasitas pendukung elektronik lanjutan, seperti radar pertahanan udara. - Pengembangan simulator lanjutan. - Kemampuan litbang elektro-optik, yang terlihat dalam pengembangan pecitra termal dengan bantuan luar negeri. - Program embrionik untuk mengembangkan industri rudal. - Kemampuan konstruksi kapal laut canggih, seperti kapal Korvet kelas Victory dan Type 62-001, kapal landing ships kelas Endurance, dan kapal laut anti ranjau. - Kemampuan desain dan konstruksi kapal laut tak canggih untuk penggunaan lokal dan ekspor, seperti kapal laut serang cepat kelas Waspada dan kapal landing craft kelas Al Tahaddy. - Kemampuan canggih untuk pemeliharaan, turun mesin, pembaruan kapal laut, meliputi apa-apa yang dioperasikan oleh negara lain. MALAYSIA - Produksi pesawat udara tak canggih, meliputi pesawat transpor MD3-160 Aerokriss - Produksi komponen pesawat udara untuk ekspor, meliputi komponen struktur dan avionik (kedirgantaraan) - Kapabilitas pemeliharaan dan turun mesin pesawat, termasuk untuk pesawat militer yang dioperasikan oleh negara lain. - Produksi perlengkapan pendukung operasi darat berkaitan dengan pesawat udara - Produksi senjata kecil, meliputi senjata serang AUG. - Produksi amunisi dasar - Produksi perlengkapan telekomunikasi - Konstruksi kapal laut tak canggih, meliputi kapal laut pendukung Mutiara, kapal patroli dan kapal landing craft - Kapabilitas untuk memperbaiki dan memelihara kapal laut, meliputi kapal-kapal yang dioperasikan oleh negara lain FILIPINA - Produksi pesawat udara tak canggih, meliputi pesawat transpor BN-2 Islander, BN-2A Defender dan helikopter BO-105C. - Perakitan pesawat setengah canggih dari komponen yang diimpor, seperti jet latih S.211. - Kapabilitas litbang pesawat, seperti pesawat latih Cali T-610 - Kapabilitas pemeliharaan pesawat udara dasar - Kapasitas produksi, pemeliharaan dan upgrade kendaraan lapis baja angkut pasukan (APC) seperti FS-100 Simba. - Produksi senjata kecil, meliputi senjata serang M-16 - Produksi amunisi dasar - Produksi perlengkapan telekomunikasi - Pengembangan kendaraan tempur lapis baja, seperti program pengangkut personel bersenjata Hari-Digma. - Konstruksi kapal laut tak canggih, meliputi kapal laut patroli kelas Kagitingan dan kapal landing craft. - Turun mesin dan perbaikan kapal laut, hingga dan meliputi kapal Korvet 107 INDONESIA - Produksi pesawat untuk pasar lokal dan untuk ekspor, meliputi CN-235 baik untuk transpor maupun pengawasan maritim dan pesawat transpor NC-212 Aviocar, helikopter NAS-332 Super Puma, NSA-330 Puma, NBO-105, NBK-117 dan NB-412 SP. - Produksi komponen pesawat udara untuk ekspor. - Kapabilitas litbang pesawat udara, sebagaimana tercermin dalam program pengembangan pesawat udara transport N-250 dan desain bersama CN-235 serta perencanaan pesawat tempur/latih Hawk-100/200. - Industri embrio mesin pesawat, kini difokuskan atas pengembangan terkonsentrasi. - Produksi senjata kecil - Produksi amunisi dasar - Konstruksi kapal laut kecil dan tak canggih, meliputi kapal laut patroli kelas Banai, kapal laut/landing craft kelas Kruppang, dan kapal laut serang cepat PB-57 - Kapabilitas untuk memperbaiki dan memelihara kapal laut kecil SUMBER: Diolah (dan diperkaya dengan data terbaru) dari Amitav Acharya, “An Arms Race in Post-Cold War Southeast Asia? Prospects for Control”, Pacific Strategic Papers: (Singapore: ISEAS, 1994), hal. 63-65; David Boey, “A Firm Product Base”, Jane’s Defence Weekly 19, No. 14 (1993) hal. 37-38; International Institute for Strategic Studies, The Military Balance 1992-1993 (London: IISS, 1992); Yoshinori Nishizaki, “A Brief Survey of Arms Production in ASEAN”, Contemporary Southeast Asia 10, No. 3 (1988), hal. 269-93; Stockholm International Peace Research Institute, SIPRI Yearbook 1992; 1993; 1994; 1995; 1996; 1997: World Armaments and Disarmament (Oxford: Oxford University Press, 1992; 1993; 1994; 1995; 1996; 1997 ). Hasil produksi senjata lokal ini, selain dengan sendirinya lebih banyak dijual di dalam negeri --sebagai captive market-- sehingga turut meningkatkan pembelian senjata negeri yang bersangkutan, juga untuk kepentingan ekspor. Mengenai senjata yang diekspor, pasar ekspor biasanya adalah negara-negara tetangga sendiri. Hampir semua negara Asia Tenggara, membeli pesawat transpor dan pesawat patroli maritim kelas CN- 235 hasil produksi Indonesia misalnya. Dilihat dari perkembangan ekspor persenjataan internasional, Indonesia, Singapura dan Malaysia termasuk dalam negara-negara pemasok/penyuplai bagi perdagangan senjata internasional. Bahkan persentase pangsa pasar Singapura dan Indonesia pada tahun 1992-1998 mengalami peningkatan dibanding periode tahun 1992- 1996 (lihat tabel 4.15 dan tabel 4.16.), dari 0-1% (antara 10-50 juta dolar AS) menjadi 1-2% (50-100 juta dolar AS). Dilihat dari kepentingannya, menurut Ninok Leksono Dermawan argumenargumen yang sering dikemukakan dalam pendirian industri hankam di satu negara tetaplah tidak berubah, yaitu sebagai berikut:239 a) Menunjang Pengadaan Persenjataan. Kemampuan menyediakan sendiri perlengkapan militer merupakan salah satu obsesi militer di banyak negara. Berkembang anggapan bahwa sistem persenjataan sampai tingkat teknologi tertentu sebaiknya di produksi sendiri, karena negara yang membuat sendiri pelurunya dapat lebih terjamin kesiapannya menghadapi perang, telah menjadi dasar kuat untuk pengembangan industri hankam lokal. b) Penguasaan Teknologi. Penguasaan teknologi adalah penting, mengingat banyak pengalaman menunjukkan bahwa teknologi militer menginduki teknologi yang banyak dipakai dalam kehidupan sipil. Strategi pembangunan untuk menuju masyarakat industri banyak membutuhkan teknologi. Kalau yang dipakai oleh satu negara adalah lompatan teknologi, maka jalur penguasaan teknologi melalui teknologi militer menjadi salah satu pilihan. c) Mencari Keuntungan Ekonomi. Selain untuk memasok keperluan angkatan bersenjata dalam negeri, industri hankam dapat juga memasok angkatan bersenjata asing. Kemudian karena sifat industri semacam ini pun ganda, militer dan sipil, maka potensi penghasilan devisa karena ekspor juga bisa berasal dari produk militer dan sipil. 239 Dermawan, Op.Cit., hal. 302-305. 108 d) Mendukung Aspirasi Kekuatan Regional. Industri pertahanan dilihat sebagai salah satu cara untuk mendukung keinginan untuk menjadi kekuatan regional. Jadi tidak mengherankan bila negara-negara utama produsen senjata dunia ketiga adalah umumnya aktor berpengaruh di kawasannya. Kenyataan lain juga menunjukkan bahwa diantara mereka merupakan rival tradisional, seperti Brasil dan Argentina, India dan Pakistan, dan sebelumnya Mesir dan Israel. Faktor-Faktor Domestik Lain Diluar pertimbangan dua faktor domestik diatas, peningkatan kekuatan militer negara-negara Asia Tenggara juga disebabkan karena semakin luasnya kepentingan keamanan domestik mereka (internal security).240 Ada beberapa masalah keamanan domestik yang, baik yang lama maupun baru, tetap menjadi prioritas perhatian keamanan dalam negeri masing-masing negara, antara lain masalah gerakan separatis, perlindungan jalur komunikasi laut (sea lanes of communication/ SLOC); dan perlindungan zona ekonomi ekslusif/ZEE (exclusive economic zone/EEZ) dimana didalamnya terkandung potensi kekayaan bahan-bahan mineral. Perihal gerakan separatis, di beberapa negara Asia Tenggara, terutama di Myanmar, Filipina dan Indonesia, tetap menjadi faktor ancaman keamanan domestik yang serius. Terlebih wilayah (medan) perlawanan gerakan separatis sekarang sudah tidak lagi terbatas di wilayah konfliknya sendiri, tetapi sudah melebar ke wilayah-wilayah lainnya, bahkan telah melintasi batas-batas negara yang terlibat konflik. Kelompok bersenjata Abu Sayaff di Filipina misalnya, sudah berani melakukan aksinya di wilayah Sabah (Malaysia) dan Kalimantan Timur (Indonesia), ketika mereka melakukan penculikan para turis di pulau sengketa, Sipadan dan Ligitan.241 Demikian pula kelompok bersenjata GAM (Gerakan Aceh Merdeka, Indonesia) disinyalir sudah berani melakukan teror bom di beberapa wilayah lainnya di Indonesia di luar Aceh.242 Sementara di Myanmar, perlawanan gerakan separatis pasca Perang Dingin juga menunjukkan aktivitas yang eskalatif, dan terkadang menyebabkan konflik perbatasan antara Myanmar dengan Thailand dan India, karena kebanyakan gerakan separatis Myanmar berada di wilayahwilayah perbatasannya dengan Thailand dan India. Perlindungan jalur komunikasi laut (sea lanes of communications/SLOC) di Asia Tenggara, bagaimanapun merupakan prioritas pengamanan. Jalu-jalur laut strategis yang dimiliki negara-negara Asia Tenggara –antara lain Indonesia, Malaysia, Singapura dan Filipina, tidak saja penting bagi negara-negara kawasan, tetapi juga sangat vital bagi lalulitas laut negara-negara lainnya, terutama dilihat dari aspek ekonomis dan perdagangan antar negara. TABEL 4.17. EKSPOR MARITIM MELALUI JALUR LAUT ASIA TENGGARA, 1993* EKONOMI Ton** (juta) Nilai (milyar dollar) Persentase dari Nilai Ekspor JEPANG 33,6 153 42,4 NEIB*** 24,7 78 25,7 AUSTRALIA 133,6 17 39,5 CINA 8,9 20 21,8 EROPA**** 40,8 107 6,8 240 Amitav Acharya, “An Arms Race in Post-Cold War Southeast Asia? Prospects for Control”, Pacific Strategic Papers: (Singapore: ISEAS, 1994), hal. 11-26. 241 Harian Utusan Malaysia, 25 Februari 2000. 242 Pikiran Rakyat, 16 Januari 2001. 109 ASIA TENGGARA 171,2 114 55,4 AMERIKA SERIKAT 11,1 15 3,3 DUNIA 830,0 568 15,1 SUMBER : John H. Noer, Chokepoints: Maritime Economic Concerns in Southeast Asia, (Washington D.C.: National Defense University, 1996). KETERANGAN: * ** *** **** Kargo antar kawasan yang melintasi/melalui selat Malaka, Sunda atau Lombok, ataupun Kepulauan Spratly. Semua ton dalam ton metrik, juga disebut “ton panjang”. Negara Ekonomi Industri Baru: Korea Selatan, Taiwan, Hongkong. Diluar/tidak termasuk kawasan Eropa Timur dan Mediterania. Semenjak berakhirnya Perang Dingin fungsi strategis jalur ini memang lebih kepada aspek kepentingan ekonomi. Jalur ini merupakan jalan utama bagi lalulintas impor dan ekspor banyak negara. Selain negara-negara Asia Tenggara sendiri, negara yang tergantung pada jalur ini adalah Jepang, Korea, Taiwan, Hongkong, Australia, Cina, AS dan sebagian negara-negara Eropa. Dilihat dari persentasenya terhadap nilai eksporimpor, keluar masuk barang melalui jalur ini sangat signifikan (lihat tabel 4.17. dan 4.18.). Untuk negara-negara Asia Tenggara sendiri persentasenya mencapai 55,4% dari nilai ekspor dan 52,5% dari nilai impor. Sedangkan untuk Jepang mencapai 42,4% dari nilai ekspor dan 42,0% dari nilai impor, dan selanjutnya berturut-turut NEIB (Korea, Taiwan, Hongkong) mencapai 25,7% dan 28,3%; Australia (39,5% dan 52,8%); Cina (21,8% dan 10,3%); Eropa (6,8% dan 10,5%); dan AS (3,3% dan 4,5%). TABEL 4.18. IMPOR MARITIM MELALUI JALUR LAUT ASIA TENGGARA, 1993* EKONOMI Ton** (juta) Nilai (milyar dollar) Persentase dari Nilai Impor JEPANG 385,0 102 42,0 NEIB*** 199,8 85 28,3 AUSTRALIA 10,2 24 52,8 CINA 23,0 11 10,3 EROPA**** 41,7 162 10,5 ASIA TENGGARA 139,4 118 52,5 AMERIKA SERIKAT 9,5 27 4,5 DUNIA 830,0 568 15,2 SUMBER : John H. Noer, Chokepoints: Maritime Economic Concerns in Southeast Asia, (Washington D.C.: National Defense University, 1996). KETERANGAN: * ** *** **** Kargo antar kawasan yang melintasi/melalui selat Malaka, Sunda atau Lombok, ataupun Kepulauan Spratly. Semua ton dalam ton metrik, juga disebut “ton panjang”. Negara Ekonomi Industri Baru: Korea Selatan, Taiwan, Hongkong. Diluar/tidak termasuk kawasan Eropa Timur dan Mediterania. Sedangkan perlindungan atas ZEE dan sumber-sumber kekayaan alam juga menuntut kemampuan melakukan pengawasan dan proyeksi kekuatan militer ke kawasan-kawasan tersebut. Hampir semua negara Asia Tenggara, --kecuali Laos— memiliki wilayah ZEE. Dimana Indonesia, Filipina dan Myanmar merupakan negara yang paling banyak memiliki wilayah ZEE. Prioritas perlindungan yang paling mendesak dewasa ini adalah terhadap kasus-kasus pencurian ikan oleh kapal-kapal asing di wilayah mereka, sebagaimana seringkali dialami Indonesia.243 Faktor Paling Determinan: Relevansi Faktor Ekonomi dengan Dinamika Persenjataan? 243 "Satuan Udara Armada Barat: Terbang Demi 4 Milyar Dollar", Angkasa, No. 5 Tahun X Februari 2000, hal. 36-38. 110 Dari semua faktor-faktor yang telah dianalisis sebagai variabel yang mempengaruhi peningkatan pembelian senjata negara-negara Asia Tenggara, tampaknya penting juga untuk diperiksa faktor manakah yang dianggap paling determinan. Mengingat kemampuan kapabilitas ekonomi mempunyai korelasi positif dengan pembelanjaan anggaran militer, wajar apabila kemudian upaya pemeriksaan diarahkan terhadap faktor ini. Adanya krisis ekonomi (anjloknya nilai tukar mata uang lokal terhadap dolar AS) pada tahun 1997-1998 (masa krisis paling tinggi) yang melanda hampir semua negara Asia Tenggara membawa berkah pada studi ini. Apabila krisis kemudian menurunkan kapabilitas ekonomi (tingkat pertumbuhan ekonomi), benarkah hal ini mempunyai korelasi terhadap kemampuan penganggaran belanja militer dan akuisisi senjata? Untuk itu diperlukan analisis melalui perbandingan pada masa sebelum krisis dan pada saat krisis ekonomi. Periode 1991-1996, hampir semua negara Asia Tenggara mengalami kenaikan dalam mengalokasikan APBN-nya untuk pos anggaran belanja militer. Demikian pula halnya dari alokasi anggaran militer yang ditetapkan, sebagian diantaranya dianggarkan untuk pembelian (akuisisi) persenjataan dengan trend yang terus meningkat dibanding periode Perang Dingin. Tetapi ketika krisis ekonomi melanda kawasan Asia Tenggara (tahun 1997-1999) tingkat kenaikan ini justeru berbalik seiring dengan menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi, terutama bagi negara-negara yang mengalami krisis paling parah seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand (lihat tabel 4.18.). TABEL 4.19. PENGARUH KRISIS EKONOMI TERHADAP DINAMIKA PERSENJATAAN NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA (Dalam juta dolar AS) TAHUN 1996 (Belum Krisis) TAHUN 1997 (Krisis Tahun Pertama) TAHUN 1998 (Krisis Tahun Kedua) TAHUN 1999 (Krisis Sedikit Membaik) NEGARA Anggaran Belanja Militer Belanja Persenja-taan Anggaran Belanja Militer Belanja Persenja-taan Anggaran Belanja Militer Belanja Persenja-taan Anggaran Belanja Militer Belanja Persenja-taan VIETNAM 930 272 990 162 907 184 890 174 LAOS 76 ... 63 ... 68 ... 22 ... KAMBOJA 177 ... 254 ... 149 ... 176 ... MYANMAR 1.929 272 2.167 326 2.058 314 2,638 325 THAILAND 4.212 759 3.248 515 2.041 326 1,995 410 SINGAPURA 3.959 543 4.122 488 4.744 923 4,696 619 MALAYSIA 3.542 488 3.377 326 3.222 347 3,158 1,200 FILIPINA 1.457 104 1.422 156 1.462 115 1,627 ... INDONESIA 4.599 868 4.812 434 4.894 380 1,520 767 BRUNEI 330 ... 353 ... 371 ... 402 ... SUMBER : Diolah dari “Table of Arms Deliveries to East Asia, 1987, 1993-1999”, The Military Balance 2000-2001 (London: IISS, 2000), hal. 289; “International Comparisons of Military Expenditure”, The Military Balance 1997-98, 1998-99 dan 1999-00 (London: IISS). KETERANGAN: Konstan dalam dolar AS tahun 1999 Fenomena sedikit berbeda ditunjukkan Myanmar, Singapura, dan Filipina yang menunjukan relativitas kenaikan dan penurunan anggaran yang konstan, walaupun dengan margin yang tipis. Artinya walaupun terdapat kenaikan, tetapi pada tahun-tahun tertentu mengalami penurunan baik dalam anggaran militer ataupun dalam anggaran belanja persenjataan. Fenomena Singapura dapat dijelaskan melalui argumen bahwa hanya Singapura lah, pada tahun 1998, yang tidak mengalami defisit (dibawah titik nol persen) tingkat pertumbuhan ekonominya, dikarenakan relatif kuatnya fundamental ekonomi sebelumnya. Sementara Filipina hanya mengalami minus 0,6 persen (-0,6%) 111 pertumbuhan ekonominya, masih lebih baik dibanding Malaysia (-6,4%), Thailand (- 8,0%), dan Indonesia (-13,0%). Sedangkan Myanmar relatif terhindar dari krisis karena pola ekonomi Myanmar yang relatif tertutup interaksinya dengan dunia ekonomi luar. Sementara Indonesia, walaupun dalam dua tahun pertama krisis memiliki anggaran yang konstan tetapi pada tahun ketiga menurun drastis menjadi lebih kurang sepertiganya dibanding tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan negara yang masih terus berkutat dengan krisis ekonomi, dan belum ada tanda-tanda akan berakhir. Dari sejumlah penjelasan diatas, tampak jelas krisis ekonomi telah mempengaruhi kemampuan ekonomi suatu negara untuk mengalokasikan anggarannya. Dengan demikian faktor kapabilitas ekonomi mempunyai korelasi yang paling signifikan dengan pengeluaran anggaran belanja militer dan pengeluaran anggaran untuk akuisisi senjata. Walaupun persepsi ancaman tetap menjadi perhatian utama, tetapi apabila kemampuan ekonomi menurun maka persepsi ancaman --mengikuti pola akuisisi rasional-- berada dibelakangnya. Tetapi walaupun berada di belakang, hal ini bukan berarti persepsi ancaman menjadi tidak penting dan tidak berpengaruh terhadap kepentingan akuisisi senjata, mengingat walaupun dalam keadaan krisis ekonomi, akuisisi tetap dilakukan hanya dengan derajat yang menurun. Menarik untuk diamati, dengan mengikuti pola dan trend sebelumnya, maka apabila negara-negara Asia Tenggara mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang baik, kompetisi pembanguan persenjataan di kawasan ini besar kemungkinan akan terulang kembali. 112 BAB V REALITAS DINAMIKA PERSENJATAAN ASIA TENGGARA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP INDONESIA: MENGEMBALIKAN SUPREMASI KAWASAN? Pemetaan postur militer negara-negara Asia Tenggara, sedikit banyak telah memberikan gambaran bagaimana sesungguhnya negara-negara Asia Tenggara mengakuisisi, meningkatkan akusisi dan menggelarkan kekuatan militernya. Bagian ini hendak menguraikan beberapa hal sebagai berikut: kaitan dinamika persenjataan dengan upaya-upaya pengawasan dan kontrol oleh forum/organisasi regional; pemeriksaan fakta-fakta perbandingan dari kapabilitas dan postur kekuatan militer negara-negara Asia Tenggara; dan melihat sejauhmana implikasinya bagi Indonesia (dalam hal ini TNI), berkenaan dengan pentingnya pembangunan (penyesuaian kuantitas dan kualitas) mesin perang Indonesia dari waktu ke waktu. Hal-hal yang kemudian menjadi perlu untuk disidik adalah: (1) bagaimanakah komposisi kekuatan militer dari segi kuantitas dan kualitas?; (2) sejauhmana mesin perang disiapkan untuk menghadapi ancaman?; dan yang terpenting (3) dimanakah letak penalaran sekaligus pembenaran perlunya peningkatan pembangunan persenjataan, terkait dengan aspek kenyataan geografi, aspek demografi, prestise dan pengaruh, juga kepentingan penangkalan? Peningkatan Dinamika Persenjataan: Menggugat Peran dan Kontrol ARF Dapat ditarik kesimpulan umum bahwa peningkatan pemilikan persenjataan negara-negara Asia Tenggara pada awal-awal sesudah berakhirnya Perang Dingin merupakan respons terhadap adanya persepsi ancaman yang mencuat sebagai akibat belum adanya kepastian dalam tata hubungan antar bangsa secara regional di kawasan ini. Ketidakpastian ini kemudian melahirkan faktor-faktor:244 (1) kecurigaan atas persepsi historis dan munculnya konflik intra dan ekstra-regional; (2) upaya mencari keamanan sendiri (pertahanan mandiri) sebagai akibat perubahan postur pertahanan dengan berkurangnya kehadiran pasukan AS di kawasan ini; dan (3) kekhawatiran atas meningkatnya proyeksi kekuatan militer regional yang berpotensi menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai wilayah rivalitas pengaruh dan kepentingan. Pada awal tahun 1990-an –yang dilansir sebagai titik awal gejala dinamika persenjataan di negara-negara Asia Tenggara, khususnya ASEAN-- upaya-upaya untuk 244 Herman Joseph S. Kraft, “Pengkajian Keamanan di ASEAN: Kecenderungan dan Arah”, Analisis CSIS, Tahun XXIII No. 2 (Maret-April 1994), hal. 92. 113 mengatasi pesoalan ini kemudian dilakukan serangkaian dialog melalui berbagai forum, baik pemerintah maupun lembaga kajian dengan melibatkan banyak negara, baik intra kawasan maupun negara-negara luar kawasan yang berkepentingan. Lahirlah kemudian ASEAN Regional Forum (ARF) pada tahun 1993 di Singapura, dan melakukan konsolidasi serta menggelar pembicaraan untuk pertama kalinya tahun 1994 di Bangkok. ARF mencoba mengatasi masalah-masalah keamanan melalui peningkatan saling percaya (CBM), pengembangan mekanisme diplomasi preventif, dan pengembangan mekanisme penyelesaian konflik-konflik yang mungkin timbul. Lahirnya ARF, disamping karena kebutuhan mendesak mengenai soal-soal diatas juga seiring dengan pergeseran konstelasi politik dari era ke pasca Perang Dingin, dan sebagai tindak lanjut kesepakatan selama KTT ASEAN IV pada tanggal 27-28 Januari 1992 di Singapura, dimana pembahasan masalah politik dan keamanan oleh ASEAN semakin meningkat. Hal ini berpedoman pada arahan dalam Deklarasi Singapura 1992 yang antara lain menyatakan bahwa ASEAN dapat memanfaatkan fora yang sudah terbentuk untuk memajukan dialog eksternal guna meningkatkan keamanan di kawasan, sekaligus untuk meningkatkan dialog intra-ASEAN mengenai kerjasama keamanan. ASEAN memandang perlu untuk meningkatkan dialog eksternal dengan memanfaatkan ASEAN Post Ministerial Conferences (ASEAN-PMC). Dalam rangka mewujudkan ZOPFAN dengan komponen pentingnya yaitu SEA-NWFZ maka ASEAN perlu mengadakan konsultasi dengan negara-negara sahabat untuk membahas masalah-masalah politik dan keamanan yang dapat menunjang situasi di kawasan Asia Tenggara, dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan yang terjadi, baik pada tingkat regional maupun global. Bertitik tolak dari arahan tersebut, ASEAN kemudian memprakarsai dibentuknya Forum Regional ASEAN (ASEAN Regional Forum/ARF) pada Pertemuan Tahunan Para Menteri Luar Negeri ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting/AMM) ke-26 dan ASEANPMC di Singapura tanggal 23-28 Juli 1993, sebagai suatu forum konslutasi untuk membahas masalah politik dan keamanan di Asia Tenggara. Forum ini diikuti oleh negara-negara anggota ASEAN dan beberapa negara di kawasan Asia-Pasifik, Amerika dan Eropa, yang diperkirakan mempunyai pengaruh terhadap situasi politik dan keamanan, baik pada tingkat regional maupun global. Dalam pertemuan ARF pertama di Bangkok tanggal 25 Juli 1994, seluruh peserta (ASEAN: Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura dan Brunei), termasuk 7 negara mitra dialog (AS, Jepang, Kanada, Australia, Selandia Baru dan Masyarakat Eropa), 3 negara peninjau (Laos, Vietnam dan PNG), 2 negara mitra konsultatif (RRC dan Rusia), serta 2 negara mitra tamu ASEAN (Myanmar dan Kamboja), mendukung ARF245 sebagai instrumen diplomatik untuk membina sikap saling percaya (confidence building measures/CBM) pada tingkat regional Asia-Pasifik --antara lain masalah transparansi, diplomasi preventif, dan kerjasama/wahana pembahasan masalah politik dan keamanan di kawasan. Selain itu pertemuan tersebut juga telah mengangkat tujuan 245 Bahasan mengenai peran ASEAN dalam ARF dan upaya-upayanya menciptakan stabilitas keamanan di Asia Pasifik dapat dilihat dalam F. Andrea, “Peran ASEAN dalam Mewujudkan ASEAN Regional Forum, (Jakarta: Tesis Magister PPs Universitas Jayabaya, 2000); Yulia Diniastuti, “Masa Depan Kerjasama Keamanan ASEAN: Tantangan bagi Pengembangan ASEAN Regional Forum”, Analisis CSIS Tahun XXV No. 5 (September-Oktober 1996), hal. 374-381; dan Ikrar Nusa Bhakti, "Forum Regional ASEAN dan Pengaturan Keamanan Regional di Asia-Pasifik”, Jurnal Ilmu Politik No. 16 (Jakarta: AIPILIPI- Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 59-72. 114 dan prinsip-prinsip Perjanjian Kesepakatan dan Kerjasama (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) sebagai tata perilaku (code of conduct) dalam hubungan antarbangsa. 246 Tetapi sampai sewindu (delapan tahun) usia ARF, bagi Asia Tenggara forum ini masih dirasakan belum mampu mengatasi berbagai masalah penting yang ada, serta tidak menjamin berkurangnya persepsi ancaman bagi banyak negara. Hal ini antara lain ditandai dengan masih berlarutnya penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan (LCS), dan masih intensifnya dinamika persenjataan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Pertanyaannya, kendala dan faktor-faktor apakah yang menyebabkan ARF tidak mampu atau belum mampu mengatasi dan meredam dinamika persenjataan negaranegara Asia Tenggara? Peran dan Mekanisme Kerja ARF Forum Regional ASEAN (ASEAN Regional Forum/ARF) dibentuk dalam Pertemuan Tahunan Para Menteri Luar Negeri ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting/AMM) ke-26 dan ASEAN-PMC di Singapura tanggal 23-28 Juli 1993, sebagai suatu forum konslutasi untuk membahas masalah politik dan keamanan di Asia-Pasifik. Forum ini diikuti oleh negara-negara anggota ASEAN dan beberapa negara di kawasan Asia-Pasifik, Amerika dan Eropa, yang diperkirakan mempunyai pengaruh terhadap situasi politik dan keamanan, baik pada tingkat regional maupun global. Kendati namanya ASEAN Regional Forum --dan bahkan ASEAN merupakan pelopor pendirinya, tetapi lingkup permasalahan yang dibahas dalam ARF bukan hanya persoalan-persoalan yang terjadi di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga meliputi permasalahan yang ada di kawasan Asia-Pasifik.247 ARF mendasarkan kinerjanya pada tiga bentuk mekanisme, yaitu:248 (1) Membina saling percaya (Confidence Building Measures/CBMs) untuk mengurangi timbulnya konflik yang tidak diinginkan, maupun meningkatkan kualitas lingkungan politik di kawasan. Pembinaan rasa percaya ini bukan saja di bidang militer, tetapi juga di bidang-bidang ekonomi dan politik. CBMs juga merupakan latihan psikologis untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan mispersepsi dan kecurigaan. Secara mendasar CBMs bertujuan untuk meningkatkan transparansi diantara negara-negara Asia-Pasifik yang berkaitan dengan kekuatan-kekuatan militer mereka. Contoh transparansi ini adalah Buku Putih Pertahanan (Defence White Paper) yang dapat diketahui oleh khalayak umum baik domestik maupun antar negara, pemebritahuan dini tentang latihan bersenjata kepada negara tetangga, tranparansi pemebelian senjata dan tipe senjata yang dibeli, pertukaran informasi intelejen, dan lain-lain; (2) Diplomasi Preventif (preventive diplomacy), yaitu 246 Chairman’s Statement: The First Meeting of the ASEAN Regional Forum, (Bangkok: 25 Juli 1994), hal. 2. 247 Pengertian kawasan “Asia” dan “Pasifik” adalah mencakup keseluruhan kawasan Asia ditambah (sub) kawasan Pasifik Selatan. Sementara kawasan “Asia-Pasifik” dalam arti sempit (ditulis bersambung, tanpa kata “dan”) terdiri dari tiga (sub) kawasan, yaitu Asia Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Selatan (atau menurut istilah LEMHANAS adalah wilayah yang dibasahi Samudera Pasifik). Tetapi secara umum diterima pengertian (dalam konteks ARF), bahwa Asia-Pasifik adalah kawasan yang mencakup Asia Timur Laut, Asia Tenggara, Pasifik Selatan, Oceania dan Amerika Utara. Sedangkan yang dirancang dalam pola kerjasama APEC adalah mencakup kawasan yang lebih luas, yaitu ditambah sebagian dari kawasan Amerika Selatan (sebelah timur Samudera Pasifik). 248 ASEAN Secretariat, ARF Documentations: 1993-2000, (Jakarta, ASEAN Secretariat, 2001); dan Bhakti, Op.Cit., hal. 70-71. 115 tindakan non-militer untuk mencegah timbulnya perselisihan diantara berbagai pihak, dan mencegah perselisihan berkembang menjadi konflik dan membatasi perkembangan konflik apabila hal itu terjadi;249 dan (3) Kerjasama keamanan dan politik, antara lain saling tukar dokumen pertahanan, infromasi perkembangan politik domestik dan regional, latihan militer bersama pada tingkat bilateral dan multilateral, saling mengirim pengamat di dalam latihan militer yang dilakukan oleh negara-negara anggota, pengiriman siswa militer, dan kerjasama lain yang bersifat non-militer. ARF Tidak Mampu Mereduksi Dinamika Persenjataan Adanya ketidakpastian keamanan seiring dengan berakhirnya Perang Dingin, yang ditandai dengan adanya: (1) perselisihan-perselisihan teritorial yang tidak terpecahkan; (2) upaya mencari keamanan sendiri (pertahanan mandiri) sebagai akibat perubahan postur pertahanan dengan berkurangnya kehadiran pasukan AS di kawasan ini; dan (3) kekhawatiran atas meningkatnya proyeksi kekuatan militer regional yang berpotensi menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai wilayah rivalitas pengaruh dan kepentingan, telah melahirkan persepsi ancaman baru yang menyebabkan negara-negara Asia Tenggara terlibat dalam perlombaan pembangunan persenjataan (dinamika persenjataan) untuk melindungi kepentingan, keamanan dan kedaulatan negara masingmasing. Selain persepsi ancaman diatas, kemampuan akuisisi juga didorong oleh faktor domestik, yaitu adanya kapabilitas ekonomi dan berkembangya industri pertahanan lokal.250 Dari gambaran umum data yang ada, dalam variabel-variabel pengembangan sumber daya tentara, pengeluaran pertahanan dan pemilikan persenjataan menunjukkan realitas peningkatan: (1) “Variabel sumberdaya manusia/tentara” (military manpower), jumlah tentara seluruh negara-negara ASEAN mengalami peningkatan kecuali Vietnam, Laos dan Malaysia. Jumlah total tentara Singapura tahun 1990 (akhir tahun era Perang Dingin) adalah 55.500 orang dan pada tahun 1998 (pasca Perang Dingin) menjadi 72.500 orang. Berikutnya dalam format tahun yang sama, Thailand (283.000 menjadi 306.000), Myanmar (230.000 menjadi 349.000), Kamboja (57.300 menjadi 94.000), Filipina (108.500 menjadi 117.800), Indonesia (283.000 menjadi 299.000), dan Brunei (4.250 menjadi 5.000). Sedangkan Vietnam mengalami penurunan (1.052.000 menjadi 484.000), Laos (55.100 menjadi 29.100) dan Malaysia (129.500 menjadi 105.000);251 (2) “Variabel Pengeluaran Belanja Pertahanan” (military/defence expenditure). Dari 5 negara Asia Tenggara yang datanya tercatat lengkap dalam SIPRI Yearbook, semuanya mengalami peningkatan dalam hal pengeluaran belanja militer dalam tingkat harga konstan. Thailand pada tahun 1990 mengeluarkan biaya 2.015 juta dolar dan pada tahun 1996 menjadi 3.150 juta dolar, Singapura (1.305 menjadi 2.718), Malaysia (1.380 menjadi 2.101), Filipina (616 menjadi 249 Amitav Acharya, “Selling ‘Preventive Diplomacy’”, Business Times, (30-31 Juli 1994), hal. 1. 250 Lihat tulisan mengenai beberapa faktor yang menjadi alasan terjadinya pening-katan pembelian senjata dalam Dewi Fortuna Anwar, “Peningkatan Pembelian Senjata dalam ASEAN dan Implikasinya”. Teknologi Strategi Militer No. 74 (Tahun VII Agustus 1993), hal. 43-47; juga Ninok Leksono Dermawan, Akuisisi Senjata RI dan Negara ASEAN Lain: Suatu Kajian atas Riwayat, Pola, Konteks dan Logika (Jakarta: Disertasi Doktor Program Pascasarjana UI, Jakarta, 1990), Bab. IV. 251 Diolah dari data The International Institute for Strategic Studies, The Military Ba-lance 1990- 1991 dan 1998-1999 (London: IISS, 1990 dan 1998). 116 698), dan Indonesia (1.520 menjadi 2.674).252 Dalam perbandingan proporsi anggaran belanja militer pada basis perkapita (dalam US dollar), data Thailand menunjukkan tahun 1990 adalah 28 dan tahun 1997 menjadi 52, Singapura (485 menjadi 1.360), Malaysia (89 menjadi 157), Filipina (14 menjadi 20), dan Indonesia (10 menjadi 24);253 dan (3) “Variabel pemilikan/akuisisi persenjataan” (military acquisition). Dari indikator dalam senjata-senjata utama yang diakuisisi oleh negara-negara Asia Tenggara menunjukkan kenaikan, seperti tercatat sebagai berikut: (a) Angkatan Laut negara-negara Asia Tenggara pada tahun 1990 hanya memiliki 2 buah kapal selam (submarines) yang dimiliki Indonesia, sedangkan tahun 1999 negara-negara Asia Tenggara memiliki 7 buah kapal selam yang tersebar di Indonesia, Vietnam dan Singapura; Jumlah kapal perusak (Frigates) dari 34 buah (1990) menjadi 42 buah (1999); dan jumlah kapal patroli dan tempur (patrol and coastal combatant) dari 316 buah (1990) menjadi 414 buah (1999); (b) Angkatan Darat negara-negara Asia Tenggara tahun 1990 hanya memiliki tank ringan sebanyak 1.618 buah sedangkan tahun 1999 menjadi sebanyak 2.092 buah; kendaraan lapis baja dari 665 buah (1990) menjadi 805 buah (1999); dan kendaraan lapis baja pengangkut pasukan dari 4.790 buah (1990) menjadi 4.966 buah (1999); dan (c) Angkatan Udara negara-negara Asia Tenggara tahun 1990 memilki 341 buah pesawat tempur udara/pembom/serang darat, menjadi 410 buah pada tahun 1999; pesawat tempur dari 846 buah (1990) menjadi 880 buah (1999); helikopter tempur dari 121 buah (1990) menjadi buah 195 (1999).254 Selain meningkatkan persenjataan konvensional melalui impor, mereka juga telah memproduksi sendiri beberapa jenis senjata atas lisensi dari AS, dan negara-negara Eropa.255 Dalam hal kepemilikan/penggelaran dan akuisisi persenjataan, dilihat dari jumlah rata-rata seluruh negara mengalami kecenderungan meningkat. Dari 27 komponen persenjataan (8 komponen AD, 11 komponen AL, dan 8 komponen AU –lihat Bab III) yang diperbandingkan, hanya tiga komponen yang mengalami penurunan, yaitu komponen perbandingan Pesawat Tempur dengan perbedaan sangat tipis dari 846 unit menjadi 838 unit; perbandingan Pesawat Angkut dari 460 unit menjadi 299 unit; dan Helikopter Angkut dari 536 unit menjadi 474 unit. Dilihat dari kecenderungan peningkatan per masing-masing negara, seluruh negara-negara Asia Tenggara mengalami peningkatan dalam sebagian besar komponen, kecuali dalam komponen-komponen tertentu (mengalami penurunan). Penurunan Vietnam dalam kepemilikan Tank Tempur Utama, Kendaraan Lapis Baja Angkut Pasukan, Kapal Frigat, Kapal Patroli dan Tempr Pantai, Landing Shift, FTR, Helikopter Bersenjata (7 komponen); Indonesia: Kapal Pendukung dan Jenis Lainnya, FTR, Pesawat Latih, Pesawat Angkut, Helikopter Angkut (5 komponen); Malaysia: Artileri, Pesawat Latih, Pesawat Angkut, Helikopter Angkut (4 komponen); Singapura: Senjata Pertahanan Udara, FGA, FTR, Pesawat Angkut (4 komponen); Filipina: Kapal Frigat dan Landing 252 Diolah dari data Stockholm International Peace Research Institute, SIPRI Yearbook; World Armament and Disarmament 1991 dan 1997, (Oxford: Oxford University Press, 1991 dan 1997). Data-data negara Asia Tenggara lainnya tidak tercatat. 253 Diolah dari data The International Institute for Strategic Studies, The Military Ba-lance 1990- 1991 dan 1997-1998 (London: IISS, 1990 dan 1997). 254 Diolah dari data The International Institute for Strategic Studies, The Military Balance 1990- 1991 dan 1999-2000 (London: IISS, 1990 dan 1999). 255 Michael T. Klare, “The Next Great Arms Race”, Foreign Affairs 72, No. 3 (Summer 1993), hal. 140. 117 Shift (2 komponen); Thailand: FTR, Pesawat Angkut (2 komponen); Brunei: Helikopter Angkut, Helikopter Bersenjata (2 komponen); Myanmar: Pesawat Angkut (1 komponen); dan Kamboja: Kapal Patroli dan Tempur Pantai (1 komponen). Dilihat dari perspektif keamanan, fenomena diatas cenderung mengkhawatirkan, bahkan akuisisi yang dilakukan dalam beberapa kategori mengarah pada lomba senjata mini (mini arms race). Satu hal lagi, secara ekonomis adanya perlombaan senjata diatas, telah menyebabkan kegagalan Asia Tenggara untuk memetik keuntungan perdamaian (peace devidend), yaitu mengalihkan anggaran pertahanan untuk kepentingan-kepentingan pembangunan, sebagaimana yang dialami kawasan-kawasan lain pasca berakhirnya Perang Dingin. Harapan-harapan kemudian muncul dengan kehadiran ARF sejak tahun 1994. Adanya mekanisme ARF, diharapkan negara-negara Asia Tenggara dan Asia-Pasifik khususnya, dapat mengurangi tekanan-tekanan tentang persepsi ancaman, dan dengan demikian negara-negara dapat mengurangi keharusan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan dengan mengakuisisi berbagai jenis persenjataan. Harapan ini wajar, mengingat Menlu AS Madeleine Albraight pun menyatakan bahwa ARF merupakan satusatunya kelompok resmi Asia di bidang keamanan sebagai forum yang dapat dijadikan tempat untuk membahas berbagai masalah keamanan.256 Akan tetapi dari sejumlah indikator dinamika persenjataan menunjukkan --paling tidak sampai 2-3 tahun konsolidasi ARF, organisasi ini tampaknya belum dianggap sebagai upaya yang dapat meredam pembangunan persenjataan negara-negara Asia Tenggara. Dua sampai tiga tahun setelah mekanisme ARF diluncurkan, hampir semua negara-negara Asia Tenggara tetap mengalami peningkatan yang signifikan dalam pengeluaran belanja pertahanan dan akuisisi persenjataan, kecuali Laos yang menunjukkan trend penurunan (Lihat Tabel 5.1.).257 TABEL 5.1. PENGARUH PENDIRIAN ASEAN REGIONAL FORUM (ARF) TERHADAP DINAMIKA PERSENJATAAN NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA (Dalam juta dolar AS) TAHUN 1994 (Konsolidasi 1 ARF) TAHUN 1995 (1 tahun setelah konsolidasi ARF) TAHUN 1996 (2 tahun setelah konsolidasi ARF) NEGARA Anggaran Belanja Militer Belanja Persenja-taan Anggaran Belanja Militer Belanja Persenja-taan Anggaran Belanja Militer Belanja Persenja-taan VIETNAM 837 89 910 217 930 272 LAOS 111 ... 73 ... 76 ... KAMBOJA 59 ... 174 ... 177 ... MYANMAR 415 111 1.880 152 1.929 272 THAILAND 3.313 434 4.006 1.193 4.212 759 SINGAPURA 2.982 256 3.970 217 3.959 543 MALAYSIA 2.652 945 3.514 814 3.542 488 FILIPINA 855 96 1.361 94 1.457 104 INDONESIA 2.256 55 4.403 184 4.599 868 BRUNEI 235 ... 268 ... 330 ... SUMBER : Diolah dari “Table of Arms Deliveries to East Asia, 1987, 1993-1999”, The Military Balance 2000-2001 (London: IISS, 2000), hal. 289.; “International Comparisons of Military Expenditure”, The Military Balance 1997-98, 1998-99 dan 1999-00 (London: IISS). KETERANGAN: Konstan dalam dolar AS tahun 1999 256 Antara, 26 Juli 1999. 257 Lihat Oman Heryaman, “Kegagalan ARF dalam Mengatasi Konflik Laut Cina Selatan dan Dinamika Persenjataan Negara-Negara Asia Tenggara”, Jurnal Hubungan Internasional Universitas Pasundan, Vol I No.1 (Agustus-Nopember 2001), hal. 45-54. 118 Penyebab Kegagalan ARF Ada beberapa alasan yang dapat diketengahkan untuk menjelaskan mengenai sedikitnya peran ARF dalam mengatasi sengketa Kepulauan Spratly dan meredam pembangunan persenjataan, maupun membicarakan masalah-masalah keamanan lainnya di negara-negara Asia Tenggara:258 (1) Meskipun ARF dianggap sebagai instrumen kebijaksanaan keamanan regional, tampaknya tidak ada negara yang bersedia menggantungkan keamanannya pada ARF.259 ARF bukanlah organisasi pakta pertahanan keamanan --seperti NATO di Eropa-- yang dapat menjamin keamanan kolektif anggotanya, tetapi lebih merupakan forum dialog yang bersifat longgar sehingga kesepakatan-kesepakatannya tidak terlalu mengikat. (2) Proses pembahasan mekanisme ARF mengalami kemandekan karena anggotanya -- bahkan sampai pertemuan keenam-- belum menyetujui langkah ARF dari tahap CBM ke tahap diplomasi preventif. Hal ini karena dilandasi sikap Cina yang lebih mempertahankan ARF sebagai mekanisme konsultasi informal, dan menolak proses multilateralisme kawasan.260 Penolakan Cina didasarkan atas kebijakan assertive-nya261 yang semakin mengemuka pasca Perang Dingin. (3) Anggota ARF belum sepenuhnya meyakini kemampuan ARF. Hal ini disebabkan ketidakmampuan ARF mengatasi berbagai masalah, termasuk dalam masalah konflik Laut Cina Selatan. Terbukti Masalah peran ARF ini dibahas dalam retreat pada AMM ke-23 di Singapura 23-24 Juli 1999. Retreat dimaksudkan untuk meninjau kembali keputusan-keputusan yang telah diambil dan sejauhmana pelaksanaannya. Mengikuti alur pikir diatas, maka sampai sejauh ini persepsi ancaman tetap menjadi perhatian utama negara-negara Asia Tenggara, dan relevan dalam menggerakan keputusan untuk melakukan akuisisi persenjataan. Perbandingan Kekuatan antar Negara: Dimana Supremasi Indonesia? Peta Kekuatan Pertahanan antar Negara Untuk melihat peta kekuatan pertahanan antar negara, dapat digunakan perhitungan dan perbandingan berdasarkan kuantitas dan kualitas. Perhitungan dan perbandingan kuantitas dalam sistem persenjataan konvensional masih tetap relevan untuk memberikan gambaran kekuatan sebuah negara dalam hal akuisisi senjata. Penambahan dengan perhitungan kualitas memang dapat memberikan bobot lebih, tetapi andaikan aspek kualitas tidak dilibatkan, pendekatan kuantitas tetap penting mengingat alasan berikut: (1) Paritas teknologi senjata konvensional yang dicapai oleh para produsen senjata menyebabkan tidak adanya keunggulan mutlak dari sebuah jenis senjata 258 Kompas, 24 Juli 1999. Masalah peran ARF ini dibahas dalam retreat AMM ke-23 di Singapura 23-24 Juli 1999. 259 Michael Leifer, “The ASEAN Regional Forum”, Adelphi Paper 302 (1996), hal. 58. 260 Bantarto Bandoro, “ASEAN dan Dilomasi Preventif di Asia-Pasifik”, Analisis CSIS Tahun XXV N0. 6 (November-Desember 1996), hal. 512-513. 261 Assertive yaitu suatu ketegasan Sikap Cina dalam menyikapi segala bentuk perselisihan maupun konflik yang menyangkut kepentingan, kedaulatan dan keamanan nasionalnya. Kebijakan ini merupakan strategi politik luar negerinya karena dorongan-dorongan perubahan politik global untuk melakukan pemikiran ulang (rethinking) dan penyesuaian (readjustment). Lihat Amin Maulana W., “Reorientasi Strategi Militer Cina dan Sengketa Spartly: Tantangan Indonesia sebagai Pelopor Lokakarya Laut Cina Selatan”, Jurnal Luar Negeri, No. 33 (Balitbang Deplu RI: Tahun 1998), hal. 59. 119 dalam generasinya; (2) Kemampuan negara-negara dunia ketiga --khususnya Asia Tenggara, dalam hal akuisisi terhadap segala jenis senjata relatif sama, justeru yang membedakannya adalah dalam hal akuisisi secara kuantitas. Berdasarkan pendekatan kualitas, tingkat kecukupan pertahanan dan keamanan262 diukur dari rasio jumlah personel relatif terhadap jumlah penduduk suatu negara yang merupakan ukuran kecukupan angkatan darat; dan rasio luas wilayah relatif terhadap jumlah alutsista yang merupakan luas tanggung jawab per unit alutsista angkatan laut (dan juga angkatan udara). Dengan menggunakan ukuran-ukuran seperti itu, dapat dipetakan kekuatan pertahanan dan kemanan negara-negara Asia Tenggara (juga Asia umumnya) sebagaimana ditunjukkan pada tabel 5.2. TABEL 5.2. PETA KEKUATAN PERTAHANAN NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA DAN ASIA No. Urut Nama Negara % Personil terhadap Jumlah Penduduk Rasio luas wilayah dibagi jumlah Alutsista (Km persegi/Alutsista) AD AL AU 1 Vietnam 4.21 308.06 692.35 2 Brunei 2.22 180.83 96.15 3 Korsel 2.19 39.10 137.57 4 Malaysia 0.64 1,472.00 1,177.68 5 Singapura 0.40 10.47 1.55 6 Thailand 0.33 299.22 584.63 7 Australia 0.31 2,796.38 14,722.75 8 RRC 0.24 2,453.21 1,148.65 9 Filipina 0.19 8,496.23 1,271.19 10 Jepang 0.15 451.12 345.31 11 India 0.15 461.87 1,616.06 12 Indonesia 0.13 38,662.72 43,421.05 13 Kamboja - 336.00 2,873.65 Rata-Rata Seluruh Asia 0.93 4,305.17 5,237,58 Indonesia pada Urutan 12 13 12 KETERANGAN *) Di luar RRC yang terlalu ekstrim SUMBER Adaptasi dari Subiyanto, Bijah, Studi Komparatif Kekuatan Pertahanan dan Keamanan Negara-Negara Asia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta, 2000; hal: 17-18; Juga diambil dari Bijah Subijanto, “Model Pengalokasian Anggaran Dalam Pembangunan Kekuatan Pertahanan dan Keamanan”, Dharma Wiratama, No. DW/106/2000, hal. 66-71. Dari data yang telah diolah tersebut maka peta posisi kekuatan pertahanan negara-negara Asia Tenggara dapat tercermin secara tegas, bahkan dapat dilihat perbandingannya dengan negara-negara lain dan dengan total rata-rata negara Asia. Sebagai contoh kekuatan pertahanan Indonesia adalah sebagai berikut: (1) Angkatan Darat berada pada urutan ke 12 dengan prosentase jumlah personil militer terhadap jumla penduduk adalah 0.13% sementara rata-rata Asia telah mencapai besaran 0,63% (2) Angkatan Laut berada pada posisi ke 13 dengan luas tanggung jawab wilayah perunit alut sista matra laut seluas 38,662,72 km2, sementara rata-rata Asia hanya mencapai luas 4,663,23 km2, per unit alutsista; dan (3) Ankatan Udara berada pada urutan ke 13 dengan luas tanggung jawab wilayah udara per unit alutsista matra udara seluas 43,421.05 km2, sedangkan rata-rata Asia hanya mencapai besaran seluas 18,471.81 km2. 262 Subiyanto, Bijah, Studi Komparatif Kekuatan Pertahanan dan Keamanan Negara-Negara Asia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta, 2000; hal: 17-18. 120 Sedangkan berdasarkan pendekatan kuantitas, dapat dilihat melalui perhitungan dan perbandingan komponen-komponen berikut: kondisi geografis dan demografi, pengeluaran anggaran pertahanan, jumlah SDM angkatan bersenjata dengan berbagai variannya, akuisisi berbagai jenis senjata konvensional utama (alusista). Kemudian berdasarkan tabulasi sederhana dapat dilihat komposisi peringkat masingmasing negara dalam setiap komponen tersebut. Peta kekuatan pertahanan dan keamanan negara-negara Asia Tenggara berdasarkan kuantitas dapat dilihat dalam tabel 5.3. Kebijakan Pertahanan Negara-Negara Asia Tenggara Berdasarkan realitas dan peta kekuatan pertahanan diatas, maka di-identifikasikan pola strategi pembangunan kekuatan pertahanan negara-negara Asia Tenggara dalam membangun kekuatan pertahanan masing-masing matra baik Darat, Laut, dan Udara. Di lihat dari data kekuatan sumber daya tentara, hampir semua negara menganut prioritas visi pertahanan kontinen, yang didukung kekuatan laut dan udara. Bedanya, Laos, Singapura dan Malaysia lebih memprioritaskan kekuatan udara dibanding laut setelah angkatan darat. Sementara berdasarkan peta kekuatan pertahanan yang diukur dari rasio jumlah personel relatif terhadap jumlah penduduk suatu negara (untuk AD); dan rasio luas wilayah relatif terhadap jumlah alutsista yang merupakan luas tanggungjawab per unit alutsista AL dan AU, adalah sebagai berikut:263 • Vietnam menganut prioritas pengembangan kekuatan pertahanan dan keamanannya dengan visi kontinen yang didukung dengan Angkatan Laut dan Udaranya. • Brunei menganut prioritas pengembangan kekuatan pertahanan dan keamanannya dengan visi kontinen yang didukung Angkatan Udara dan Laut yang kuat. • Malaysia menganut prioritas pengembangan kekuatan pertahanan dan keamanannya dengan visi kontinen namun kurang memprioritaskan kekuatan laut dan udara. • Singapura menganut prioritas pengembangan kekuatan pertahanan dan keamanannya dengan visi maritim yang didukung dengan Angkatan Laut dan Kepolisian yang cukup memadai. • Thailand menganut prioritas pengembangan kekuatan pertahanan dan kemanannya dengan visi maritim yang ditopang dengan Angkatan Udara Angkatan Darat yang cukup. • Filipina menganut prioritas pengembangan kekuatan pertahanan dan keamanannya dengan visi dirgantara yang ditopang dengan Angkatan Darat dan Laut yang cukup. • Indonesia menganut prioritas pengembangan kekuatan pertahanan dan keamanannya dengan visi kontinen yang ditopang dengan kekuatan Laut dan Udara. 263 Diolah dari tabel 3.9., Tabel 5.1., dan Bijah Subijanto, “Model Pengalokasian Anggaran Dalam Pembangunan Kekuatan Pertahanan dan Keamanan”, Dharma Wiratama, No. DW/106/2000, hal. 66-71. 121 • Kamboja menganut prioritas pengembangan kekuatan pertahanan dan keamanannya dengan visi maritim namun kurang didukung dengan kekuatan matra yang lain. • Myanmar menganut prioritas pengembangan kekuatan pertahanan dan keamanannya dengan visi kontinen yang ditopang dengan kekuatan Laut dan Udara. • Laos menganut prioritas pengembangan kekuatan pertahanan dan keamanannya dengan visi kontinen yang ditopang dengan kekuatan Udara dan Laut. Dimana Supremasi Indonesia? Tidak disangkal lagi, dari aspek geografis dan demografi, Indonesia merupakan negara terbesar di kawasan. Indonesia memiliki luas wilayah 1.904.433 kilometer persegi, dan penduduk sebanyak lebih kurang 207 juta jiwa. Baik dari aspek luas wilayah maupun jumlah penduduk, Indonesia hampir setengah dari luas wilayah dan jumlah penduduk Asia Tenggara (ASEAN 10). Dengan realitas seperti ini, sebenarnya Indonesia memenuhi syarat untuk dapat digolongkan sebagai kekuatan regional (regional power), atau menurut istilah Juwono Sudarsono sebagai negara berpengaruh di kawasan (NBK).264 Tetapi tanpa didukung kekuatan militer yang tangguh --dalam negara modern ketangguhan militer suatu negara didasarkan atas kepemilikan dan akusisi persenjataan yang lengkap dan canggih, julukan ini menjadi kurang berarti mengingat elemen kekuatan militer merupakan aspek terpenting dalam melihat peran negara sebagai kekuatan global atau kawasan dewasa ini, selain tentu saja kombinasi wilayah dan penduduk tadi disamping kapabilitas ekonomi. Dilihat dari realitas kekuatan militer saat ini, Indonesia tidaklah dapat digolongkan memiliki supremasi (dominasi) kekuatan untuk kawasan Asia Tenggara seperti yang pernah dicapai tahun 1960-an dan 1970-an. Dari beberapa indikator, Indonesia tidak memiliki kuantitas yang dapat digolongkan dominan dibanding kekuatan lainnya, sebagaimana ditunjukkan dari deskripsi data berikut (lihat tabel 5.3.): (1) Dalam hal penetapan anggaran belanja militer/pertahanan (berdasarkan data tahun 1997 dalam situasi pertumbuhan ekonomi normal), Indonesia memang membelanjakan anggaran tertinggi dibanding negara lainnya. Tetapi kalau dilihat dari proporsinya terhadap GDP dan basis per kapita, peringkat Indonesia berada di belakang Singapura, Malaysia, Brunei dan bahkan Kamboja. (2) Dalam sumberdaya manusia (tentara) walaupun Vietnam mengurangi jumlah tentaranya hampir setengah dari kekuatannya pada saat Perang Dingin, jumlah tentaranya saat ini masih yang terbanyak di Asia Tenggara, disusul kemudian Myanmar, Thailand, dan baru Indonesia. (3) Dalam hal akuisisi persenjataan angkatan darat, Vietnam masih merupakan kekuatan dominan. Walaupun akuisisi yang dilakukan pada pasca Perang Dingin relatif sedikit, 264 Juwono Sudarsono, “Negara Berpengaruh di Kawasan”, Makalah Ceramah di Pusat Studi Asia-Afrika dan Negara-negara Berkembang - Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri RI, Bandung, Maret 1988. Indonesia dogolongkan sebagai negara berpengaruh di kawasan Asia Tenggara, sejajar dengan India di Asia Selatan, Mesir di Timur Tengah, dan Brasil di Amerika Selatan. 122 tetapi persenjataan sisa-sisa Perang Dingin masih cukup banyak. Posisi Indonesia berada di belakangnya, relatif mempunyai kekuatan sama dengan Thailand. Salah satu kelemahan yang dimiliki persenjataan Indonesia, sampai sejauh ini belum mengakuisisi jenis senjata Tank Tempur Utama (Main Battle Tank), sama seperti yang dialami Malaysia, Filipina dan Myanmar. (4) Dalam hal akuisisi persenjataan angkatan laut, kuantitas kekuatan persenjataan Indonesia berada di depan, disusul kemudian oleh Thailand, Malaysia dan Myanmar. Tetapi dilihat dari kuantitas perbandingannya, margin perbedaannya relatif sedikit. Bahkan Thailand, walaupun berada dalam posisi dua, tetapi merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang telah memiliki Kapal Induk sejak tahun 1998. (5) Dalam hal akuisisi persenjataan angkatan udara (merujuk pada penggelaran dan akuisisi kekuatan pesawat tempur), posisi Indonesia berada pada peringkat 4. Kekuatan utama tempur udara masih berada di Vietnam, disusul kemudian Thailand dan Singapura. Walaupun bukan yang terdepan (kecuali AL), postur kekuatan Angkatan Bersenjata dan penggelaran persenjataan Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai salah satu kekuatan utama di Asia Tenggara. Tetapi bila ukuran-ukuran kualitas dikedepankan (misalnya dilihat dari proporsi/per-sentase/perbandingannya dengan jumlah penduduk, luasnya wilayah kedaulatan dan wilayah operasi pertahanan), bukan tidak mungkin postur kekuatan Indonesia akan berada pada level menengah ke bawah, bahkan dibanding kekuatan negara kecil seperti Malaysia dan Singapura. Padahal dilihat dari aspek-aspek tersebut diatas, jumlah penduduk dan wilayah kedaulatan yang harus dilindungi, baik darat, laut dan udara, adalah yang terbesar dan terluas dibanding negara Asia Tenggara lainnya. Rasionalitas Pembangunan Persenjataan Indonesia Mengingat realitas seperti diatas, rasionalitas kekuatan militer Indonesia masih jauh dari ideal, dan ini hendaknya menjadi prioritas jangka panjang dalam pembangunan kekuatan militer ke depan. Pentingnya pembangunan kekuatan militer Indonesia, bukan semata-mata diadasarkan atas keinginan Indonesia untuk menjadi “polisi”, supervisi adidaya atau kekuatan regional di Asia Tenggara yang pasti akan “meresahkan” para tetangga dan kekuatan-kekuatan lain yang selama ini telah memposisikan diri sebagai “polisi” atau kekuatan regional. Tetapi lebih didasarkan atas perlunya peningkatan postur militer terkait dengan kepentingan pengamanan wilayah dan menjaga persatuan, keutuhan dan kedaulatan tanah air sebagaimana tergambar dalam Doktrin CADEK 1988 dan Doktrin TNI baru yang tengah direvisi.265 Krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami Indonesia, dipastikan telah mempengaruhi program modernisasi TNI, namun demikian masalah keamanan hendaknya tetap menjadi perhatian utama. Dilihat dari kenyataan geografik, kenyataan demografi, kebutuhan ruang untuk hidup,266 dan perlunya kekuatan penangkal, pertimbangan untuk pembangunan kekuatan militer Indonesia dari waktu ke waktu tetap penting dan mendesak sampai mencapai kondisi ideal. 265 Dewi Fortuna Anwar, disampaikan secara lisan dalam Lokakarya Organisasi dan Doktrin TNI, Kerjasama SESKO TNI dan LIPI, Bandung 29 Oktober – 1 Nopember 2001. 266 Lihat Robert Mangindaan, “CTBT dari Perspektif Pertahanan Negara”, Makalah yang disampaikan dalam Seminar CTBT Departemen Luar Negeri RI, Bogor, 12-14 Desember 2000. 123 Kenyataan Geografik Wilayah negara Indonesia terdiri atas 17.508 pulau dengan perairan 5 juta kilometer persegi ditambah 3 juta kilometer persegi Zona Ekonomi Eklusif/ZEE, berada di jalan silang dunia, dan sudah menjadi hak dan kewajiban bagi Indonesia untuk memelihara kedaulatannya terhadap wilayahnya yang sah. Dari keseluruhan pulau tersebut, hanya tiga daerah yang memiliki perbatasan di darat, artinya musuh mempunyai akses untuk 360 derajat. Dikaitkan dengan konsekuensi berada di jalan silang dunia, berarti ada unsur asing di dalam wilayah kedaulatan yang memanfaatkan innocent passage tumpang tindih dengan life line dari 207 juta manusia Indonesia. Tidak ada pihak yang bisa menjamin bahwa para pengguna sea lanes of communication (SLOC) semuanya adalah pengguna yang sopan dan santun. Kenyataan di lapangan meperlihatkan bahwa pada umumnya para pengguna SLOC adalah negara maritim yang kuat dan memiliki kekuatan laut yang lebih superior dar TNI-AL. Memang benar interstate conflict sudah tidak popular sekarang ini, akan tetapi kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa penyiapan mesin perang merupakan never ending business. Meskipun bahasanya adalah perampingan dan pengurangan kekuatan operasional, akan tetapi kemampuan untuk proyeksi kekuatan tidak pernah surut bahkan lebih modern dan mematikan. Dari kaca mata pertahanan --adalah hal yang mustahil apabila suatu kekuatan laut yang mondar-mandir di perairan kawasan Asia Tenggara tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk memproyeksikan kekuatannya. Buktinya? Singapore masih memelihara supremasi kekuatan udara di Asia Tenggara,267 kemudian Thailand dan Malaysia secara konsisten membangun kekuatan laut yang perkasa di perairan Asia Tenggara. Terkait dengan faktor geografis, beberapa hal yang perlu mendapatkan prioritas pengamanan adalah: 1) pengamanan jalur laut: a) pengamanan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang telah disahkan International Maritime Organization (IMO) tanggal 15 Juni 1998;268 dan 2) pengamanan jalur laut dari ancaman para pembajak atau perompak. Wilayah perairan Indonesia, terutama Malaka yang paling sibuk dan padat, sangat rawan terhadap pembajakan dan perompakan sebagaimana dilaporkan Biro Maritim Internasional (IMB);269 2) pengamanan wilayah laut terhadap tindakan-tindakan pencurian ikan dan kekayaan alam lainnya; dan 3) pengamanan wilayah laut terhadap segala bentuk dan tindakan penyelundupan, baik dari dalam maupun luar Indonesia, yang dilakukan sebagai bentuk tindakan kriminal ekonomi maupun kriminal politik (kepentingan gerakan separatis); serta 4) pengamanan wilayah laut dan udara terhadap penggunaan jalur laut dan jalur Indonesia oleh pihak asing untuk kepentingan mata-mata atau inteljen. Kenyataan Demografik Penduduk Indonesia berjumlah 207 juta jiwa dan terdiri dari 300 suku bangsa. Tanpa penduduk berarti tidak ada negara, dan negara sudah jelas mempunyai hak 267 "Profil Republic of Singapore Air Force", Angkasa, No. 5 Tahun X Februari 2000, hal. 17-21; dan Mangindaan, Loc.Cit. 268 "Alur Laut Kepulauan Indonesia: Sebuah Tantangan Bagi TNI-AU", Angkasa, No. 12 Tahun VIII Februari 1998, hal. 72-74. 269 “Dua Kapal Dibajak di Selat Malaka”, Media Indonesia 27 Juni 2001; dan "Satuan Udara Armada Barat: Terbang Demi 4 Milyar Dollar", Angkasa, No. 5 Tahun X Februari 2000, hal. 36-38. 124 kedaulatan untuk melindungi warga negaranya, dari manapun ancaman itu datang. Moda konflik yang sedang berkembang, belakangan ini adalah intra-state conflict, dan hampir pasti selalu ada tangan dari luar yang ikut bermain didalamnya. Perbedaannya adalah mereka bermain secara terbuka atau secara tertutup, sedangkan persamaannya adalah aktornya sudah pasti lebih superior. Apapun namanya, intra-state conflict menyangkut kedaulatan negara, artinya semua pihak tanpa kecuali, mempunyai kewajiban mempertahankan hak kedaulatan negara. Konflik bisa terjadi di daerah mana saja, di daerah pesisir pantai, atau di pedalaman, atau di daerah periferal, dan tidak bisa dihindari pasti ada “tangan yang kuat dari luar” ikut bermain. Menghadapi ancaman tersebut, kekuatan apa yang menjadi andalan negara untuk melaksanakan hak kedaulatannya? Alternatifnya hanya satu yaitu kekuatan mesin perang yang tangguh. Terkait dengan faktor demografik, beberapa hal yang perlu mendapatkan prioritas pengamanan adalah: 1) secara internal, pengamanan migrasi dan integrasi nasional antar suku yang rawan konflik, seperti kasus Dayak-Madura dan pengusiran warga etnik lain dalam konflik Aceh; dan 2) secara eksternal, menjaga migrasi ilegal untuk kepentingan gerakan-gerakan separatis dan kasus-kasus lintas batas, seperti pelarian aktivis gerakan separatis Aceh ke Malaysia dan Thailand Selatan, lintas batas warga sekitar perbatasan Papua Indonesia dengan Papua New Guinea, dan dimasa depan adalah kasus-kasus lintas batas di perbatasan Nusa Tenggara Timur dan Timor-Timur. Kebutuhan untuk Hidup Sebagai bangsa dari negara yang berdaulat, kebutuhan untuk hidup, berkembang, dan bermartabat sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia (dengan istilah lain prestise dan pengaruh), merupakan kepentingan yang hakiki. Kepentingan tersebut merupakan prinsip universal, dan sudah seharusnya bangsa Indonesia berjuang untuk mengejar hak tersebut. Perjuangan untuk mengejar kepentingan tesebut, tentunya hanya dapat berkembang dnegan baik apabila di payungi dengan atmosfir yang kondusif. Masalahnya adalah atmosfir tersebut tidak terbentuk secara alamiah, tetapi perlu diupayakan oleh segenap bangsa Indonesia sendiri. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia membutuhkan labensraum yang besar pula, dan pasti akan bersinggungan dengan kepentingan nasional negara lain, yang mungkin lebih lemah dan mungkin juga lebih superior. Dalam konteks ini negosiasi hanya dapat dikembangkan secara maksimal dan menguntungkan apabila ada posisi tawar yang kuat, yang didukung oleh kekuatan nyata di bidang politik, ekonomi dan kekuatan militer. Sulit bagi mesin perang Indonesia untuk mengembangkan posisi tawarnya apabila bersandar pada postur yang kecil dan low profile seperti sekarang. Pada masa otonomi daerah sekarang ini, bila implementasinya sudah dilaksanakan secara penuh, maka interaksi daerah dengan pihak asing akan semakin meningkat, sehingga memerlukan liputan pengamanan yang semakin besar. Terjadinya kemungkinan intervensi (petualangan) dari pihak asing tidak akan terjadi apabila Indonesia memiliki kekuatan dengan deterrence power yang memadai, minimal di lingkungan terkecil kawasan Asia Tenggara. Terkait dengan faktor diatas, beberapa hal yang perlu mendapatkan prioritas penanganan adalah: 1) kemampuan postur pertahanan yang kuat yang dapat mendukung kemampuan negosiasi dan diplomasi Indonesia; dan 2) terkait dengan interaksi daerahdaerah otonomi (baik otonomi umum maupun otonomi yang diperluas) adalah menjaga 125 keamanan daerah terhadap kemungkinan intervensi (petualangan dan intelejen) pihak lain lain dengan kekuatan penangkal (deterrence) yang memadai. Kebutuhan Penangkalan (Deterrence) Sebagai penegasan dari kebutuhan diatas, kasus masuknya INTERFET (International Force in East Timor) yang notabene pasukan Australia ke Propinsi Timor- Timur (saat itu secara de facto merupakan wilayah Indonesia) setelah jajak pendapat Agustus 1999, merupakan pelajaran berharga mengenai kebutuhan penangkalan (deterrence) TNI. Hal ini antara lain karena posisi TNI yang sangat lemah di mata negara asing. Ada beberapa tantangan yang harus menjadi perhatian Indonesia mengenai kebijakan penangkalan ini: (1) Kemungkinan Australia menjadikan Timor Leste sebagai “pangkalan depan (forward base defense)”, hal ini terkait dengan Doktrin Howard yang menjadikan Australia seakan-akan “wakil” AS sebagai polisi regional dan lebih aktif dalam masalahmasalah keamanan Australia, jika perlu melalui intervensi. Hal ini akan menjadi relevan, jika muncul konflik di Papua dan konflik Maluku terus berkepanjangan, yang dilihat Australia sebagai instabilitas kawasan. Keterlibatan Australia dalam konflik PNG dengan pemberontakan separatis Bouganville tahun 1988-1998,270 juga harus dilihat sebagai pelajaran. (2) Kemungkinan melubernya (spillover) konflik Laut Cina Selatan, karena letak konflik yang berdekatan dengan wilayah Indonesia (Natuna). Hal ini diperlukan fasilitas militer yang kuat di sekitar Kepulauan Natuna yang dapat menangkal melubernya konflik tersebut, sekaligus untuk menghadapi kejahatan dilaut seperti perompakan/pembajakan. Dalam dua tahun terakhir telah terjadi beberapa kali ketegangan di kawasan konflik ini akibat sikap bermusuhan (hostilities) antara negaranegara pengklaim Spratly, yakni Malaysia-Filipina dan Vietnam-Filipina, termasuk konflik berskala rendah antara Cina-Filipina.271 (3) Tidak kalah pentingnya adalah kebutuhan konsentrasi di titik-titik rawan perbatasan yang dijadikan lintasan gerakan separatis untuk pemasokan informasi dan persenjataan: 1) disekitar wilayah perairan Aceh, terutama wilayah perbatasan laut dengan Malaysia Utara dan Thailand Selatan untuk menangkal penyelundupan senjata yang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM); (2) Sepanjang perbatasan darat Papua-PNG untuk memotong jalur logistik gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM); dan (3) disekitar perairan wilayah kepulauan Maluku Selatan untuk memotong jalur hubungan gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang mencoba bangkit kembali.272 Adanya konsentrasi pasukan TNI yang kuat diwilayah tersebut 270 Di Bougainville (Papua New Guinea) Australia dengan kekuatan militer penuh terlibat dalam Operasi Belisi (Operation Belisi) sebagai bagian dari Peace Monitoring Group in Bougainville pada tahun 1998. Kegiatan operasi perdamaian diatas bukan bagian dari operasi perdamaian PBB. Lihat “Multinational Peacekeeping Operations”, The Military Balance 2000/2001 (London: IISS, 2000), halaman sisipan. 271 Budiarto Shambazy, “Anggaran Militer dan Modernisasi Senjata TNI”, Kompas 22 November 1999, hal. 20. 272 Terjadi peristiwa pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) 25 April 2001 di kawasan Kudamati Ambon, oleh kelompok Front Kedaulatan Maluku (FKM) yang dipimpin oleh Alex H. Manuputty. Bahkan FKM menuntut pengembalian kedaulatan wilayah Alifuru (Maluku) yang dikatakan telah merdeka dan berdaulat pada 25 April 1950, tetapi dirampas oleh Indonesia. Keberanian pengibaran bendera dan tuntutan FKM ini disikapi sebagai keberanian akibat adanya dukungan dari pihak-pihak 126 merupakan daya tangkal terhadap pihak-pihak asing yang mencoba melakukan intervensi melalui gerakan separatis. Dengan pertimbangan-pertimbangan diatas, walaupun sedang ditempa krisis ekonomi dan sekarang tengah dalam proses recovery, mewujudkan Postur TNI yang kecil, professional, efisien dan efektif,273 adalah keharusan yang tidak bisa diabaikan. Hal inipun kemudian didukung oleh pertimbangan-pertimbangan lain yang juga penting. Pertama, walaupun sedang dalam kesulitan ekonomi, peningkatan pembagunan persenjataan tetap penting dilaksanakan, walaupun pelaksanaannya tentu saja disesuaikan dengan kemampuan melalui bentuk peningkatan secara gradual atau secara mencicil. Dengan demikian, hal tersebut akan dapat menghindarkan kemungkinan negara kita pada posisi pacuan senjata dengan diri sendiri (self-arms race) di kemudian hari.274 Penghindaran dari self-arms race menjadi penting, karena selain menghindari penumpukan pembelian senjata pada waktu tertentu yang akan memakan biaya yang sangat besar, juga dapat menghindarkan kekhawatiran negara tetangga dan pihak-pihak domestik yang kritis terhadap keberadaan militer Indonesia atau TNI. Kedua, walaupun ancaman serangan militer (ancaman konvensional) secara langsung sudah hampir tidak dimungkinkan lagi, tetapi menjaga keamanan wilayah dan kedaulatan tetap harus dilakukan, dan untuk itu diperlukan modernisasi persenjataan. Sekecil apapun faktor ancaman konvensional yang mungkin terjadi, dalam penyusunan defence planning (perencanan pertahanan) tetap harus diperhitungkan.275 Hal ini sejalan definisi umum fungsi pertahanan yang dianut NATO, bahwa kekuatan pertahanan dilaksanakan untuk menghadapi fungsi-fungsi pertahanan yang saling tumpang tindih,276 yaitu: 1) Menjaga pertahanan dan kedaulatan wilayah walaupun tidak ada ancaman dari luar; 2) Menjaga negara dari ancaman musuh; dan 3) Ikut menjaga perdamaian dunia (peace keeping operations). eksternal yang mencoba memanfaatkan situasi konflik di wilayah tersebut. Lihat Forum Keadilan No. 6, 13 Mei 2001, hal. 85. 273 Letjen TNI Djadja Suparman, disampaikan dalam pidato pembukaan Lokakarya Organisasi dan Doktrin TNI, Kerjasama SESKO TNI dan LIPI, Bandung 29 Oktober – 1 Nopember 2001. 274 Wawancara dengan Dr. Kusnanto Anggoro, tanggal 1 Juli 2001 275 Rizal Sukma, disampaikan secara lisan dalam Lokakarya Organisasi dan Doktrin TNI, Kerjasama SESKO TNI dan LIPI, Bandung 29 Oktober – 1 Nopember 2001. 276 Marsekal Pertama Kusnadi Kardi, disampaikan secara lisan dalam Lokakarya Organisasi dan Doktrin TNI, Kerjasama SESKO TNI dan LIPI, Bandung 29 Oktober – 1 Nopember 2001. 127 BAB VI KESIMPULAN DAN PENUTUP Hasil pemeriksaan data perbandingan terhadap indikator-indikator dinamika persenjataan negara-negara Asia Tenggara menunjukkan kecenderungan meningkat pada periode pasca Perang Dingin (tahun 1991-2000) dibandingkan pada periode masa Perang Dingin (tahun 1975-1990). Peningkatan ini merupakan bagian dari arms build-up (pembangunan persenjataan) dan arms maintenance (pemeliharaan persenjataan) dilihat dari kepentingan dinamika persenjataan negara masing-masing. Kesimpulan umum ini tercermin dalam kesimpulan-kesimpulan khusus sebagai berikut: Anggaran Belanja Militer/Pertahanan a) Dilihat dari nilai rata-rata anggaran belanja militer dalam harga konstan, sebagian besar negara-negara Asia Tenggara mengalami peningkatan pada pasca Perang Dingin dibanding pada masa Perang Dingin. Thailand mengalokasikan anggaran sebesar 1.541,62 juta dolar AS, dan meningkat menjadi 2.919,33 juta dolar AS pada pasca Perang Dingin. Indonesia dari 2290,87 juta dolar AS menjadi 3.139,66 juta dolar AS, Myanmar (208,81 menjadi 1.268,22), Malaysia (1.443,31 menjadi 2788), Filipina (839,38 menjadi 1178,56) dan kenaikan paling tajam dialami Singapura (928,56 menjadi 3.342,44). Sedangkan dua negara yang mengalami penurunan adalah Vietnam dan Laos. b) Dari lima negara (ASEAN 5) yang datanya lengkap semuanya mengalami kecenderungan menaik dalam anggaran belanja militer dalam tingkat harga berjalan. Thailand pada tahun 1980 membelanjakan sebanyak 25.049 juta bhat, meningkat menjadi 64.956 juta bhat pada tahun 1990, dan meningkat kembali pada tahun 1992 dan 1996 menjadi 68.810 dan 107,900 juta bhat. Myanmar (untuk tahun yang sama dengan Thailand: 1.622; 2.400; dan 8.297 juta kyats), Singapura (1.234; 3.040; 3.684; 5.686 juta dollar Singapura); Malaysia (3.389; 4.165; 4.500; 7.176 juta ringgit), Filipina (5.240; 17.680; 26.700; 30.183 juta pesos), dan Indonesia (951; 3.204; 4.784; 8.238 milyar Rupiah). c) Kecuali Vietnam dan Laos yang mengalami penurunan, 5 negara lainnya yang datanya lengkap semuanya mengalami kecenderungan menaik. Thailand pada tahun 1980 memiliki basis per kapita sebanyak 23 (dalam dolar AS), meningkat menjadi 28 pada tahun 1990, dan meningkat kembali pada tahun 1992 dan 1997 menjadi 33 dan 52. Myanmar (untuk tahun yang sama dengan Thailand: 6; 8; 6; 45, Singapura (239; 485; 590; 1.360), Malaysia (108; 89; 128; 157), Filipina (20; 14; 13; 20), dan Indonesia (14; 10; 11; 24). Brunei dan Kamboja juga mengalami peningkatan, pada tahun 1991 masing-masing sebanyak 756 dan 7 menjadi masing-masing 1.240 menjadi 17 pada tahun 1999. d) Dilihat dari persentase anggaran militer dari GDP, semua negara mengalami penurunan. Vietnam dan Laos mengalami penurunan tajam yang konstan. Vietnam pada tahun 1990 tercatat sebesar 16,0% dan turun drastis menjadi 3,1% pada tahun 1999, sementara Laos dari 7,9% pada tahun 1993 menjadi 2,3% pada tahun 1999. Sedangkan negara-negara lainnya, kendati diselingi peningkatan dalam beberapa 128 tahun, bila dihitung rata-rata mengalami penurunan dalam margin yang tipis. Thailand pada masa Perang Dingin sebesar 3,9% menjadi 2,3% pada pasca Perang Dingin, Myanmar (5,98% menjadi 5,3%), Singapura (5,55% menjadi 5,08%), Malaysia (5,02% menjadi 4,1%), Filipina (2,30% menjadi 1,92%), Indonesia (3,37% menjadi 1,76%) dan Brunei (6,45% menjadi 6,43%). Tetapi walaupun terjadi penurunan hal ini tidak berpengaruh terhadap nilai riil belanja militer dalam harga konstan. Tentara/SDM Angkatan Bersenjata Sebagian besar jumlah tentara Angkatan Bersenjata (AB) seluruh negara-negara Asia Tenggara mengalami peningkatan kecuali Vietnam, Laos dan Malaysia. Jumlah total tentara Singapura tahun 1990 (akhir tahun era Perang Dingin) adalah 55.500 orang dan pada tahun 1998 (pasca Perang Dingin) menjadi 72.500 orang. Berikutnya dalam format tahun yang sama, Thailand (dari 283.000 menjadi 306.000), Myanmar (230.000 menjadi 349.000), Kamboja (57.300 menjadi 94.000), Filipina (108.500 menjadi 117.800), Indonesia (283.000 menjadi 299.000), dan Brunei (4.250 menjadi 5.000). Sedangkan Vietnam mengalami penurunan (1.052.000 menjadi 484.000), Laos (55.100 menjadi 29.100) dan Malaysia (129.500 menjadi 105.000). Penurunan jumlah AB Vietnam sangat tajam, hal ini disebabkan Vietnam (dan juga Laos) mengurangi secara besar-besaran ABnya dikarenakan berkurangnya faktor ancaman dan berakhirnya situasi perang akibat konflik Kamboja (selesai tahun 1991), dan sekarang lebih berorientasi kepada pembangunan ekonomi dan bidang lainnya setelah banyak tertinggal dibanding negaranegara tetangganya, ASEAN 6. Pola kecenderungan peningkatan dalam total AB ini juga dapat diterapkan untuk melihat kecenderungan peningkatan: (a) jumlah tentara bila dilihat dari per angkatan, terutama untuk angkatan darat; (b) proporsi tentara per 1000 penduduk; dan (3) proporsi tentara per 10 mil luas wilayah. Sementara kecenderungan peningkatan untuk Angkatan Laut (AL) agak berbeda, dimana jumlah tentara seluruh negara-negara Asia Tenggara mengalami peningkatan kecuali Filipina. Demikian pula dalam jumlah tentara Angkatan Laut (AU) seluruh negara-negara Asia Tenggara mengalami peningkatan kecuali Indonesia. Kepemilikan/Penggelaran dan Akuisisi Sistem Persenjataan Utama Dilihat dari jumlah rata-rata seluruh negara, kepemilikan/penggelaran dan akuisisi persenjataan mengalami kecenderungan meningkat. Dari 27 komponen persenjataan (8 komponen AD, 11 komponen AL, dan 8 komponen AU) yang diperbandingkan, hanya tiga komponen yang mengalami penurunan, yaitu komponen perbandingan Pesawat Tempur dengan perbedaan sangat tipis dari 846 unit menjadi 838 unit; perbandingan Pesawat Angkut dari 460 unit menjadi 299 unit; dan Helikopter Angkut dari 536 unit menjadi 474 unit. Dilihat dari kecenderungan peningkatan per masing-masing negara, seluruh negara-negara Asia Tenggara mengalami peningkatan dalam sebagian besar komponen, kecuali dalam komponen-komponen tertentu (mengalami penurunan). Penurunan Vietnam dalam kepemilikan Tank Tempur Utama, Kendaraan Lapis Baja Angkut Pasukan, Kapal Frigat, Kapal Patroli dan Tempur Pantai, Landing Shift, FTR, Helikopter Bersenjata (7 komponen); Indonesia: Kapal Pendukung dan Jenis Lainnya, FTR, Pesawat Latih, Pesawat Angkut, Helikopter Angkut (5 komponen); Malaysia: Artileri, Pesawat Latih, Pesawat Angkut, Helikopter Angkut (4 komponen); Singapura: Senjata Pertahanan Udara, FGA, FTR, Pesawat Angkut (4 komponen); Filipina: Kapal Frigat dan Landing 129 Shift (2 komponen); Thailand: FTR, Pesawat Angkut (2 komponen); Brunei: Helikopter Angkut, Helikopter Bersenjata (2 komponen); Myanmar: Pesawat Angkut (1 komponen); dan Kamboja: Kapal Patroli dan Tempur Pantai (1 komponen). * * * Terjadinya peningkatan dalam pembangunan persenjataan diatas, disebabkan adanya perkaitan faktor-faktor internasional dan domestik yang mempengaruhi dan dipertimbangkan oleh para pengambilan keputusan di negara-negara Asia Tenggara. Dari lingkungan internasional, faktor-faktor yang yang mempengaruhi dan dipertimbangkan tersebut adalah terkait dengan perubahan konfigurasi keamanan seiring dengan berakhirnya Perang Dingin, yang ditandai dengan menurun drastisnya intensitas konflik global US-AS, penarikan pasukan US-AS dari wilayah Asia Tenggara dan dapat ditanganinya masalah Kamboja melalui Persetujuan Paris 23 Oktober 1991, yang memunculkan harapan akan suatu perdamaian. Tetapi era kehendak baik (era of goodwill) ini tidak berlansung lama, ketika berakhirnya tatanan global yang bercirikan dua kutub membuka jalan bagi suatu struktur banyak kutub yang kommpleks bercirikan ketidakpastian. Bagi negara-negara Asia Tenggara, ketidakpastian ini berkisar pada tiga masalah penting: (1) perselisihan-perselisihan teritorial yang tidak terpecahkan; (2) pengurangan kehadiran militer AS di kawasan; dan (3) munculnya peranan kekuatankekuatan regional. Tiga masalah ini, kemudian dibarengi dengan adanya perubahan pola perdagangan senjata internasional yang makin memudahkan banyak negara mengakuisisi persenjataan. Kecurigaan dan Konflik Intra dan Ekstra-Regional Salah satu konsekuensi berakhirnya persaingan Timur-Barat adalah muculnya kecurigaan dan konflik-konflik regional diseluruh belahan dunia, tidak terkecuali di Asia- Pasifik dan khususnya Asia Tenggara. Konflik-konflik ini memiliki otonomi yang lebih besar untuk berkembang menjadi konflik yang lebih serius dan mengancam stabilitas kawasan. Potensi konflik ini mengandung aspek persepsi historis, aspek sengketa teritorial intra-kawasan dan aspek teritorial intra dan ekstra-kawasan. a) Persepsi historis kondisi hubungan antar negara masa lampau masih melandasi adanya kecurigaan-kecurigaan dalan hubungan antar negara pasca Perang Dingin. Persepsi historis ini antara lain: sikap ekspansionistik politik luar negeri Indonesia Era Soekarno dan kebijakannya dalam konfrontasi Indonesia-Malaya, persepsi negara kecil terhadap negara besar, serta perebutan pengaruh dan kepemimpinan di Indocina, khususnya antara Thailand dan Vietnam. b) Sesama negara intra-kawasan Asia Tenggara, masih terlibat dalam banyak sengketa atau konflik yang diakibatkan masalah-masalah: klaim atas kedaulatan pulau atau wilayah, perbatasan darat, dan perbatasan landas kontinen. c) Negara-negara Asia Tenggara selain terlibat konflik sesama negara intra-kawasan juga terlibat konflik dengan negara ekstra-kawasan, yaitu: Konflik Kep. Spartly di Laut Cina Selatan yang melibatkan enam negara ASEAN Taiwan dan Cina, konflik Kep. Paracel antara Vietnam dan Cina, dan konflik perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh. Walaupun Indonesia dan Thailand tidak terlibat dalam konflik Laut Cina Selatan, tetapi adanya kemungkinan limpahan konflik (spillover) dipandang sebagai potensi ancaman yang harus diwaspadai. 130 Pergeseran Aliansi/Postur Pertahanan Regional Selama era Perang Dingin konfigurasi keamanan negara-negara Asia Tenggara didominasi oleh hubungan bipolar antara negara AS dan US. Dalam sistem ini tercipta stabilitas strategis dengan adanya hubungan-hubungan strategis yang jelas --meskipun berbahaya, antara dua blok, AS vs US serta para sekutunya. Dalam situasi ini, AS disamping melindungi kepentingan strategisnya sendiri, juga berperan sebagai pelindung para sekutunya (model payung keamanan) dengan membentuk beberapa kerjasama keamanan bilateral dengan Thailand, Filipina, Jepang dan Korea Selatan. Demikian pula US menjalin kerjasama keamanan bilateral dengan Vietnam dan sub sekutunya (Laos dan Kamboja). Pasca Perang Dingin konfigurasi keamanan mengalami perubahan dan pergeseran aliansi mendasar dalam tatanan baru keamanan regional, yang ditandai adanya penarikan mundur kekuatan militer US (dari Cam Ranch Bay dan Danang di Vietnam) dan berkurangnya peran (juga ditandai dengan penarikan kekuatan militer di Subic Bay dan Clark Field di Filipina) dan pengaruh AS di Asia Pasifik di satu pihak, yang dipersepsi sebagai adanya power vacuum (kekosongan kekuasaan) yang mengharuskan peran aktif dari negara-negara Asia Tenggara untuk turut menjaga keamanannya sendiri, dan secara kolektif berbagi beban keamanan (burden sharing) dengan AS yang telah mengurangi peran stabilisator di kawasan. Perimbangan Kekuatan Regional Asia-Pasifik Persepsi power vacuum dikarenakan berkurangnya kehadiran pasukan AS juga ditanggapi oleh negara-negara yang dianggap sebagai kekuatan regional di Asia-Pasifik, yaitu Cina, Jepang, India dan dalam beberapa hal Australia. Upaya-upaya yang dilakukan keempat negara ini, terutama Cina dan Jepang adalah peningkatan proyeksi kekuatan militer yang dapat dilihat dari beberapa indikator berikut: anggaran belanja militer yang terus meningkat; impor senjata konvensional yang meningkat; dan modernisasi Angkatan Bersenjata. Negara-negara Asia Tenggara memandang kekhawatiran terhadap kekuatan regional ini disebabkan kemungkinan munculnya potensi konflik akibat benturan kepentingan diantara mereka untuk melindungi berbagai kepentingannya, dan adanya rivalitas kekuatan di wilayah Asia Tenggara. Oleh karenanya setiap peningkatan proyeksi kekuatan militer yang dilakukan negara-negara kekuatan regional akan mempengaruhi dinamika persenjataan negara-negara disekitarnya mengikuti penalaran adanya dilema keamanan. Kemudahan Pasar Senjata: Dari Sellers Market ke Buyers Market Pada periode Perang Dingin, sistem perdagangan senjata internasional lebih berpola tradisional, dimana penjualan senjata selain mempunyai implikasi politik juga bersifat selektif. Negara-negara produsen senjata dalam blok Barat, terutama AS dan sekutunya, membatasi penjualan senjata pada negara-negara, yang secara ideologi, politik, dan ekonomi, berhubungan dekat dengan mereka. Demikian juga US, hanya mensuplai senjata pada negara-negara dalam blok Komunis atau yang mempunyai hubungan politik bersahabat dengannya. Sementara dalam hal prosedur, penjualan senjata dilakukan bertahap sesuai standar yang diberikan oleh penjual dan dikontrol sangat ketat oleh pemerintah. Tipe dan kapasitas senjata yang dijual pun mempunyai berbagai persyaratan dan pembatasan. AS, misalnya, tidak akan menjual teknologi pertahanannya yang paling mutakhir pada Thailand kendati negara ini merupakan sekutu AS. Sistem perdagangan 131 senjata model ini disebut dengan “sellers market (pasar penjual)”, yaitu penjual yang menentukan senjata apa yang dapat diperoleh dan dengan kondisi dan persyaratan apa saja. Tetapi dengan berakhirnya Perang Dingin, walaupun pola lama sama sekali tidak lenyap tetapi sistem perdagangan senjata internasional sudah bergerak ke arah pola baru dengan berbagai kemudahan dalam persyaratan Kontrol ketat penjual kepada pembeli bahkan sudah tidak lagi menjadi stempel dalam perdagangan senjata internasional. Sistem penjualan senjata ini kemudian dikenal dengan istilah “buyers market (pasar pembeli)”. Artinya, pembeli berada pada posisi penawaran yang lebih kuat dan bahkan dapat menuntut berbagai macam (dan kemudahan) persyaratan dari para produsen, baik dari segi mutu (dapat membeli senjata yang sebelumnya tidak bisa di jual kepadanya), kompensasi harga, pengalihan teknologi, layanan purna jual, dan sebagainya. * * * Dari lingkungan domestik, ada dua faktor utama yang mempengaruhi terjadinya pembangunan persenjataan, yaitu kapabilitas ekonomi dan perkembangan industri hankam lokal: 1. Kapabilitas ekonomi negara-negara Asia Tenggara yang tercermin dalam pertumbuhan ekonomi mengalami kecenderungan meningkat. Bila dihitung rata-rata per tahun sampai sebelum masa krisis, tingkat pertumbuhan periode tahun 1991- 1996 mengalami kenaikan dibanding periode tahun 1981-1990. Thailand dari 7,9% menjadi 7,93%, Singapura (6,5% menjadi 8,22%), Malaysia (5,2% menjadi 8,72%), Indonesia (6,0% menjadi 7,8%), dan Filipina (1,0% menjadi 2,98%). Adanya kenaikan ini secara umum mempunyai korelasi dengan kenaikan dinamika persenjataan pasca Perang Dingin. Penetapan pembelanjaan militer dan pengeluaran anggaran untuk akuisisi senjata cenderung meningkat pada saat tingkat pertumbuhan ekonomi meningkat, dan cenderung mengalami penurunan pada saat tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan, sebagaimana ditunjukkan pada saat krisis ekonomi regional melanda negara-negara Asia Tenggara. Dengan demikian faktor kapabilitas ekonomi mempunyai korelasi yang paling signifikan dengan pengeluaran anggaran belanja militer dan pengeluaran anggaran untuk akuisisi senjata. Walaupun persepsi ancaman tetap menjadi perhatian utama, tetapi apabila kemampuan ekonomi menurun maka persepsi ancaman --mengikuti pola akuisisi rasional-- berada dibelakangnya. Tetapi walaupun berada di belakang, hal ini bukan berarti persepsi ancaman menjadi tidak penting dan tidak berpengaruh terhadap kepentingan akuisisi senjata, mengingat walaupun dalam keadaan krisis ekonomi, akuisisi tetap dilakukan hanya dengan derajat yang menurun. Maka, dengan mengikuti pola dan trend sebelumnya, maka apabila negara-negara Asia Tenggara mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang baik, kompetisi pembanguan persenjataan di kawasan ini besar kemungkinan akan terulang kembali. 2. Kecuali Laos, Kamboja dan Brunei, semua negara Asia Tenggara mempunyai dan mengembangkan industri pertahanan domestik, baik berdasarkan lisensi negara Barat maupun hasil desain dalam negeri. Selain untuk kepentingan pasar dalam negeri (captive market), hasil produksi mereka juga untuk kepentingan ekspor. Di pihak lain, meningkatnya pembangunan persenjataan di negara-negara Asia Tenggara pada periode pasca Perang juga disebabkan karena pada saat yang bersamaan 132 (1991-1993) belum terbentuk suatu mekanisme regional yang dapat mengatur masalah-masalah keamanan di antara sesama negara kawasan. Selanjutnya, setelah terbentuknya ASEAN Regional Forum (ARF) pun yang berfungsi sebagai forum untuk membahas dan membicarakan masalah-masalah kemanan di Asia-Pasifik, peningkatan pembangunan persenjataan tetap berlangsung. Kehadiran ARF belum sepenuhnya mampu meredam dinamika persenjataan, hal ini dikarenakan: 1) Instrumen-instrtumen kebijakan keamanan ARF masih belum berjalan semestinya; 2) ARF lebih bersifat forum dialog yang bersifat longgar sehingga kesepakatan-kesepakatannya tidak terlalu mengikat anggotanya; dan 3) Sebagian besar anggota ARF, terutama negara-negara besar, belum sepenuhnya meyakini kemampuan ARF dalam mengatasi persoalan-persoalan keamanan, dianataranya masalah Laut Cina Selatan dan konflik Cina-Taiwan. * * * Berdasarkan perbandingan dinamika persenjataan diatas, terutama dalam penggelaran dan akuisisi persenjataan, dapat dilihat pula peta peningkatan dan kekuatan militer negara-negara Asia Tenggara, dimana postur kekuatan militer Indonesia menunjukkan profil utama (dari aspek kuantitas) dibanding negara-negara lainnya. Tetapi bila kuantitas persenjataan yang dimilikinya dilihat proporsi dan persentasenya terhadap jangkauan wilayah operasi, wilayah kedaulatan, dan jumlah penduduk yang harus dilindunginya, profil kekuatannya tampak jauh lebih kecil (bersahaja) dibanding sebagian besar negara-negara lainnya. Realitas diatas, menggarisbawahi pentingnya pembangunan kekuatan persenjataan Indonesia untuk mencapai postur kekuatan militer yang ideal. Pentingnya pembangunan kekuatan militer Indonesia, bukan semata-mata diadasarkan atas keinginan Indonesia untuk menjadi “polisi” atau kekuatan regional di Asia Tenggara yang pasti akan “meresahkan” para tetangga dan kekuatan-kekuatan lain yang selama ini telah memposisikan diri sebagai “polisi” atau kekuatan regional. Tetapi lebih didasarkan atas perlunya peningkatan postur militer terkait dengan kepentingan pengamanan wilayah dan menjaga persatuan, keutuhan dan kedaulatan tanah air. Krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami Indonesia, dipastikan telah mempengaruhi program modernisasi TNI, namun demikian masalah keamanan hendaknya tetap menjadi perhatian utama. Dilihat dari kenyataan geografik (luasnya wilayah), kenyataan demografi (besarnya jumlah penduduk), kebutuhan ruang untuk hidup (keinginan untuk sejajar secara politis dengan negara lain), dan perlunya kekuatan penangkal, pertimbangan untuk pembangunan kekuatan militer Indonesia dari waktu ke waktu tetap penting dan mendesak sampai mencapai kondisi ideal. 133 DAFTAR PUSTAKA Buku, Disertasi, Tesis dan Penelitian Alfian (dkk.). 1986. Laporan Penelitian Latar Belakang Terbentuknya ASEAN, Jakarta: Proyek Kerjasama ASEAN, Sekretariat Nasional ASEAN dan Departemen Luar Negeri RI. Andrea, F. 2000. Peran ASEAN dalam Mewujudkan ASEAN Regional Forum, Jakarta: Tesis Magister PPs Universitas Jayabaya. Buzan, Barry. 1983. People, State, and Fear: The National Security Problem in International Relations. Brighton, Sussex: Wheatsheaf Books, Ltd. _____. 1987. An Introduction to Strategic Studies: Military Technology and International Relations. London: Macmillan for the International Institute for Strategic Studies. _____. 1991. People, States, and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post Cold War Era, Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf,. _____. and Gohwer Rizvi, 1986. South Asian Security and the Great Powers, London: MacMillan Press. Bandoro, Bantarto (ed). 1996. Agenda dan Penataan Keamanan di Asia Pasifik. Jakarta: CSIS. Cunha, Derek da (ed). 2000. Southeast Asian Perspectives on Security. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Cahn, Anne Hessing. 1977. Controlling the Future Arms Trade. New York: Mc Graw Hill. Dermawan, Ninok Leksono. 1992. Akuisisi Senjata RI dan Anggota ASEAN Lain, 1975- 1990: Suatu Kajian atas Riwayat, Pola, Konteks dan Logika. Jakarta: Disertasi Doktor, Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia. Dupuy, Trevor N (ed). 1993. International Military and Defense Encyclopedia. Vol. 1-6, Washington DC and New York: Brassey’s (US), Inc. A Division of Maxwell Macmillan, Inc. Hall, D.G.E. 1988. A History of Southeast Asia. London: Macmillan Asian Histories Series. Jones, Walter S. (Terjemahan Haris Munandar dan Y. Priyo Utomo). 1993. Logika Hubungan Internasional: Persepsi dan Ancaman (Jilid 1). Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama. _____. (Terjemahan Haris Munandar dan Y. Priyo Utomo). 1993. Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan, Ekonomi-Politik Internasional dan Tatanan Dunia (Jilid 2). Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jeshurun, Chandran (ed). 1993. China, India, Japan and the Security of Southeast Asia. Singapore: ISEAS. Kaufman, Daniel J. 1985. US National Security: A Framework for Analysis. Washington D.C.: Lexington Book. Kahin, George T. (ed). 1978. Governments and Politics of Southeast Asia. New York: St Martin’s Press. 134 Kegley, Charles W., Jr and Pat McGowan. 1982. Foreign Policy USA/USSR. Sage International Yearbook of Foreign Policy Studies Volume 7. _____. and Eugene R. Wittkopt. 1989. World Politics: Trend and Transformation, (3rd edition). New York: St. Martin’s Press. Korb, Lawrence. 1990. The End of the Cold War and Declining Military Expenditure. New York: UN Publications. Lewry, Robert et.al.1996. The Armed Forces of Indonesia: The Armed Forces of Asia Series. Penerbit (lihat library pasca)? Mak, J.N. 1993. ASEAN Defence Reorientation 1975-1992: The Dynamic of Modernisation and Struktural Change. Canberra: Strategic and Defence Studies Centre, Research School of Pacific Studies, The Australian National University. Mas’oed, Mochtar. 1989. Ilmu Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi. Yogyakarta: PAU Studi Sosial UGM. _____. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES. Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Mahmood, Rohana dan Rustam A. Sani (ed). 1993. Confidence Building and Conflict Reduction in the Pacific. Kuala Lumpur: ISIS. Osborne, Milton. 1988. Southeast Asia: An Illustrated Introductory History. Sidney: Allen & Unwim Australia Pty Ltd. Ra’anan, Uri, Roberts L. Pfaltzgraff, Jr., dan Geoffrey Kemp (ed). 1978. Arms Transfers to the Third World: The Military Buildup in Less Industrial Countries. Boulder, Colorado: Westview Press,. Rubinstein, AZ. 1989. Soviet Foreign Policy Since World War II: Imperial and Global. Glenview Ill.: Scott, Foresman. Rudy, Teuku May. 1997. Studi Kawasan: Sejarah Diplomasi dan Perkembangan Politik di Asia. Bandung: Bina Budhaya. Russett, Bruce. 1983. The Prisoners of Insecurity: Nuclear Deterrence, the Arms Race, and Arms Control, New York: W.H. Freeman and Company. Subiyanto, Bijah. 2000. Studi Komparatif Kekuatan Pertahanan dan Keamanan Negara-Negara Asia, Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Sokolsky, Richard, and Angel Rabasa, C.R. Neu. 2000. The Role of Southeast Asia in U.S. Strategy Toward China. Santa Monica: RAND Corporation. Seabury, P., and A. Codevilla. 1989. Wars: Ends and Means. New York: Basic Books. Sheehan, Michael. 1983. The Arms Race. Oxford: Martin Robertson. Sudarsono, Juwono (dkk). 1996. Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Spanier, J. 1988. American Foreign Policy Since World War II. Washington D.C.: Congressional Quarterly. Sukma, Rizal. 1991. Peranan Strategis RRC dan Pengaturan Keamanan di Asia Tenggara, Jakarta: CSIS. Sutopo, A.R., 1986. Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam Perimbangan Persenjataan Strategis. Jakarta: CSIS Sekretariat Nasional ASEAN. 1995. ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Departemen Luar Negeri RI. Syah, Djalinus. 1994. Mengenal ASEAN dan Negara-negara Anggotanya. Jakarta: PT Kreasi Jaya Utama. 135 SarDesai, D.R. 1989. Southeast Asia: Past and Present. London: Macmillan Education Ltd., Westview Press, Inc. Solidum, Estrella D. 1974. Towards a Southeast Asian Community. Quezon City: University of the Philippines Press. Tilman, R.O. 1987. Southeast Asia and the Enemy Beyond: ASEAN Perceptions of External Threats. Boulder, Colorado: Westview Press, Inc. Than, Mya and Carolyn L. Gates (ed), 2001. ASEAN Enlargement: Impacts and Implications. Singapore: ISEAS. Usman, Asnani dan Rizal Sukma. 1997. Konflik Laut Cina Selatan: Tantangan Bagi ASEAN. Jakarta: CSIS. Wah, Chin Kin. 1983. The Defence of Malaysia and Singapore. Cambridge: Cambridge University Press. ______, (ed). 1987. Defence Spending in Southeast Asia. Singapore: ISEAS. Jurnal, Proposal Proyek dan Paper Anggoro, Kusnanto. “Pengkajian Strategi dan Keamanan”. Preliminary Draft PPs Universitas Indonesia dan Universitas Jayabaya. Jakarta, 1996. _____. “Senjata Nuklir, Doktrin Penangkalan dan Kerjasama Keamanan Pasca Perang Dingin”. Dalam Juwono Sudarsono dkk. Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta 1996. Alagappa, Muthiah. “Soviet Policy in South-east Asia: Towards Constructive Engagement”, Pacific Affairs 63, No. 3. Anwar, Dewi Fortuna. “Negara-negara ASEAN Mencari Model Keamanan Regional”. Analisis CSIS No. 4 Tahun XXII, Juli-Agustus 1993. _____. “Peningkatan Pembelian Senjata dalam ASEAN dan Implikasinya”. Teknologi Strategi Militer. No. 74, Th. VII, Agustus 1993. _____. “The Rise in Arms Purchase: Its Significance and Impacts on Southeast Asian Political Stability”. Indonesian Quarterly Vol. XXII, No. 3, 1994. Asnan, Hanafie. “Kekuatan Udara Indonesia: Memelihara Persatuan dalam Kebhinekaan dan Pandangan tentang Kekuatan Udara di Masa Depan”. Prangnya Karya Wiratama - Majalah Ikatan Alumni SESKOAU, No. 05 Tahun 2000. Acharya, Amitav. “Arms Proliferation Issues in ASEAN: Towards a More ‘Conventional’ Defence Posture?”. Contemporary Southeast Asia 10, No. 3, 1988. _____. “An Arms Race in Post-Cold War Southeast Asia: Prospects for Control”. Pacific Strategic Papers, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1994. Andrea, F. “Kegiatan-kegiatan Diplomatik ASEAN di Asia Pasifik 1999”, Analisis CSIS Tahun XXVIII No. 4 1999. Ahmad, Zakaria Haji. “Images of American Power: Perspectives from Southeast Asia”, makalah Unit Pengajian Strategi dan Keselamatan (Kuala Lumpur: Strategic and Security Studies Programme, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1991. Ball, Nicole. “Measuring Third World Security Expenditure: A Research Note”, World Development, Vol. 12 No. 2, 1984. Bandoro, Bantarto. “Keamanan di Kawasan Asia-Pasifik dan Pertahanan Jepang”. Analisa CSIS No. 10 Tahun X, Oktober 1981. _____. “Tujuan Strategi Global Uni Soviet dalam Dasawarsa 1980-an”. Analisa CSIS No. 12 Tahun X, Desember 1981. 136 _____. “Dinamisme Pasifik dan Kebijakan Alternatif Jepang”, Analisis CSIS, Tahun XIX No. 6, Nopember-Desember 1990. _____. “Isu Keamanan di Asia Pasifik: Rekomendasi Untuk ASEAN dan Indonesia”. Analisis CSIS No. 4 Tahun XXII, Juli-Agustus 1993. _____. “Visi dan Pilihan Strategis Jepang Pasca Perang Dingin: Implikasinya untuk Keamanan Asia-Pasifik dan Peran ASEAN”, Analisis CSIS, Tahun XXIII No. 6, November-Desember 1994. _____. “ASEAN dan Dilomasi Preventif di Asia-Pasifik”, Analisis CSIS Tahun XXV N0. 6, November-Desember 1996. Brzoska M. & Ohlson, T. “The Future of Arms Transfers: The Chaning Pattern”, Bulletin of Peace Proposals, Vol. 16 No. 2, 1985. Binh, Pam. “Prospek Penyelesaian Masalah-masalah Perdamaian dan Kestabilan di Negara-negara Asia Tenggara”. Analisa CSIS, Tahun VIII No. 4, April 1984. Ball, Desmond. “Arms and Affluance: Military Acquisition in the Asia-Pacific Region”, International Security 18, No. 13 (Winter), 1993/94. _____ and Andrew Mack. “The Military Build-up in the Asia Pacific Region: Scope, Cases and Implications for Security”, Working Paper No. 264. Canberra: Strategic and Defence Studies Center, The Australian National University, Oktober 1992. Boey, David. “A Firm Product Base”, Jane’s Defence Weekly 19, No. 14 Tahun 1993. Bhakti, Ikrar Nusa. “Forum Regional ASEAN dan Pengaturan Keamanan Regional di Asia Pasifik”, Jurnal Ilmu Politik No. 16, Tahun 1996. Buszynski, Leszek. “ASEAN’s Security Dilemmas”, Survival 34, No. 4, Winter 1993. Chufrin, Gennady. “The USSR and Asia-Pacific in 1990”, Asian Survey XXXI No. 1, Januari 1991. De Castro, Renato Cruz. “Managing “Strategic Unipolarity”: The ASEAN States’ Responses to the Post-Cold War Regional Environment”. dalam Derek da Cunha (ed). Southeast Asian Perspectives on Security. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2000. Dipoyudo, Kirdi. “Masalah-masalah Keamanan di Asia Tenggara Menurut Suatu Pandangan Jepang”. Analisa CSIS No. 10 Tahun X, Oktober 1981. _____. “Garis Baru Politik Luar Negeri Uni Soviet Menuju Ko-Eksistensi Damai dan Kerjasama”, Analisis CSIS, Tahun XVIII No. 1, Januari-Pebruari 1989. Dibb, Paul. “The Trend Toward Military Build-up and Arms Proliferation in the Asia- Pacific Region”, The Sixth International Security Forum, Ministry of Foreign Affairs, Japan, 24-25 Februari 1993. Djiwandono, Soedjati J. “Strategi Jangka Panjang Negara-negara Asia Tenggara”. Analisa CSIS, Tahun VIII No. 4, April 1984. _____. “Asia Tenggara dan Hubungan Timur Barat”. Analisa CSIS, Tahun XVII No. 3, Maret 1988. _____. “Detente Cina-Soviet dan Asia Tenggara”. Analisa CSIS, Tahun XVII No. 3, Maret 1988. Diniastuti,Yulia. “Masa Depan Kerjasama Keamanan ASEAN: Tantangan bagi Pengembangan ASEAN Regional Forum”, Analisis CSIS Tahun XXV No. 5, September-Oktober 1996. Dewanto, Wisnu. “India: Kekuatan Militer Asia yang Sedang Tumbuh”, Analisis CSIS, Tahun XIX No. 6, November-Desember 1990 137 Evans, Paul M. “Managing Security Relations After the Cold War: Prospect for the Council for Security Cooperation in Asia Pacific”, Indonesian Quarterly 22, No. 1, First Quarter 1994. Faust, John R. “The Emerging Security System ini East Asia”, Journal of East Asia Affairs 8, No. 1, Winter/Spring 1994. Gill, Graeme “The Soviet Union and Southeast Asia: A New Beginning?’’, Contemporary Southeast Asia X, No. 1 Juni 1988. Heinzig, Dieter. “Rusia dan Uni Soviet di Asia”. Analisa CSIS, Tahun XII No. 12, Desember 1983. Hassan, Amris. “ASEAN Sebagai Stabilisator Wilayah Asia Tenggara”. Dalam Juwono Sudarsono dkk. Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan, Jakarta: P.T. Dunia Pustaka Jaya, 1996. Hassan, Fuad. “Kepentingan Negara-negara Besar di Asia Tenggara”. Analisa CSIS, Tahun VIII No. 4, April 1984. Habib, Hasnan. “Tinjauan Geopolitik Asia-Pasifik Menjelang Abad ke-21”, Teknologi dan Strategi Militer, No.10 Tahun I, April 1988. Hadi, Syamsul. “Memajukan Budaya ASEAN sebagai Landasan Kerjasama Regional”, Analisis CSIS Tahun XXV No. 5, September-Oktober 1996. Ivanov, Vladimir I. “The Soviet Union and the Asia-Pacific Region in the 1990s: Evolution or Radical Changes?”, Korean Journal of Defence Analysis II, No. 2 Winter 1990. Juwana, Hikmahanto. “Japan’s Defense Conception and Its Implication for Southeast Asia”, Indonesian Quarterly XXI, No.4, Fourth Quarter, 1993. Kolodziej, Edward A. “The Multilateralization of Regional Security in Southeast and Northeast Asia: The Role of Soviet Union”, Pacific Focus VI, No. 1 Spring 1991. Kusumaatmadja, Mochtar. “Beperapa Pemikiran Mengenai Kerjasama Keamanan ASEAN: Suatu Perspektif Indonesia”. Analisis CSIS No. 6 Tahun XX, November-Desember 1991. Kraft, Herman Joseph S. (Terjemahan Sunarto Mursito). “Pengkajian Keamanan di ASEAN: Kecenderungan dan Arah”. Analisis CSIS No. 2 Tahun XXIII, Maret- April 1994. Luhulima, C. P.F. “ASEAN dan Hubungan Intra Asia Tenggara Pasca Konflik Kamboja”. Analisis CSIS No. 6 Tahun XX, November-Desember 1991. Leifer, Michael. “The ASEAN Regional Forum”, Adelphi Paper 302, 1996. Mangindaan, Robert. “CTBT dari Perspektif Pertahanan Negara”, Makalah yang disampaikan dalam Seminar CTBT Departemen Luar Negeri RI, Bogor, 12-14 Desember 2000. Mayama, Katsuhiko. “Chinese People’s Liberation Army: Reduction in Force by 500,000 and Trend of Modenization”. NIDS Security Reports, No. 1, March 2000. Machetzki, Rudiger. “Kebijaksanaan Asia Cina dan Peranan Anti Hegemonisme”. Analisa CSIS, Tahun XII No. 12, Desember 1983. Mack, Andrew. “Reassurance Versus Deterrence Strategis for The Asia-Pacific Region”. Working Paper, No. 103, Peace Research Centre-The Australian National University, Februari 1993. Maulana, Amin W. “Reorientasi Strategi Militer Cina dan Sengketa Spartly: Tantangan Indonesia sebagai Pelopor Lokakarya Laut Cina Selatan”, Jurnal Luar Negeri Balitbang Deplu RI, No. 33 Tahun 1998. 138 Moertopo, Ali. “Konfigurasi Negara-Negara Besar di Kawasan Asia-Pasifik”. Analisa CSIS No. 12 Tahun VIII, Desember 1979. Muthalib, Alfian. “Perkiraan Ancaman Militer Vietnam Dilihat dari Eskalasi Pertahanan Muangthai”. Analisa CSIS No. 8 Tahun X, Agustus 1981. Nangoi, Ronald. “Sikap Amerika Serikat Terhadap Keamanan Kawasan Asia Tenggara”. Analisa CSIS No. 8 Tahun X, Agustus 1981. Notosusanto, Indrya Smita. “Politik Global Amerika Serikat Pasca Perang Dingin”. Dalam Juwono Sudarsono dkk. Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta 1996. Nye, Joseph S. Jr. “The Contribution of Strategic Studies: Future Challenges”. Adelphi Paper 235 (Spring 1989). Nishizaki, Yoshinori. “A Brief Survey of Arms Production in ASEAN”, Contemporary Southeast Asia 10, No. 3 Tahun 1988. Prasetyono, Edi. “Kerjasama Keamanan Asia-Pasifik: Pemikiran dan Masalah-masalah yang Dihadapi”, Analisis CSIS No. 5 Tahun XXI, September-Oktober 1992. _____. “Peningkatan Kekuatan Militer Negara-negara Asia Pasisik dan Implikasinya terhadap Keamanan Regional”, Analisis CSIS No. 6 Tahun XXIII, November- Desember 1994. Porter, Gareth. “The China and US Indochina Policy”, Indochina Issues, Center for International Policy, Indochina Project, November 1980. Parennas Juliaus C. “China and Japan in ASEAN’s Staretgic Perceptions”, Contemporary Southeast Asia 12, No. 3, Desember 1990. Polomka, Peter. “East Asian Security in A Changing World: Japan’s Search for a ‘Third Way’”, Korean Journal of Defence Analysis IV, No. 2, Winter 1992. Rodriguez, Keith Dkk. “Konsepsi Pembinaan Potensi Nasional Kekuatan Pendukung Hankamneg Aspek Dirgantara Pada 10 Tahun Mendatang”. Prangnya Karya Wiratama-Majalah Ikatan Alumni SESKOAU, No. 05 Tahun 2000. Rosecrance, Richard. “Regionalism and the Post War Era”, International Journal XL, No. 3 Summer 1991. Soesastro, Hadi. “Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam “Perang Dingin” Kedua dan Implikasinya Bagi Asia Tenggara”. Analisa CSIS No. 12 Tahun X, Desember 1981. Sukma, Rizal. “Cina dan Asia Tenggara Pasca Kamboja”, Analisis CSIS, Tahun XIX No. 6, Nopember-Desember 1990. _____. “Pengaturan Keamanan di Asia Tenggara: Agenda Rumit KTT ASEAN IV”. Analisis CSIS No. 6 Tahun XX, November-Desember 1991. Singh, Jasjit. “Trends in Defence Expenditure”, dalam Asian Strategic Review 1998-99, Institute for Defence and Studies Analyses, New Delhi, 1999. Singh, Bilver. “ASEAN’s Arms Procurement: Challenge of the Security Dillema in the Post-Cold War Era”, Comparative Strategy 12, 1993. Simon, Sheldon W. “The United States and Conflict Reduction in Southeast Asia”, Contemporary Southeast Asia 12, No. 2, September 1990. Sudarsono, Juwono. “Negara Berpengaruh di Kawasan”, Makalah Ceramah di Pusat Studi Asia-Afrika dan Negara-negara Berkembang-Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri RI, Bandung, Maret 1988. Subijanto, Bijah. “Model Pengalokasian Anggaran Dalam Pembangunan Kekuatan Pertahanan dan Keamanan”, Dharma Wiratama, No. DW/106/2000. 139 Tow, William T. “Reshaping Asian-Pacific Security”, Journal of East Asian Affairs 8, No. 1, Winter/Spring 1994. Takahashi, Sugio. “Redefinition of Cooperative Security and “Regional” Security in the Asia-Pacific”. NIDS Security Reports, No. 1, March 2000. Turley, William dan Jeffrey Race. “Vietnam, Cina dan Keamanan Asia Tenggara”, Prisma, No. IV Tahun IX, 1980. To, Lee Lai. “ASEAN-PRC Political and Security Cooperation: Problems, Proposals dan Prospects”, Asian Survey 33 No. 11, November 1993. Thee, Marek. “Third World Armament: Structure and Dynamics”, Bulletine of Peace Proposals Vol. 13, No. 2, 1982. Trofimenko, Henry. “Long Term Trends in the Asia-Pacific Region: A Soviet Evolution”, Asian Survey XXIX, No. 3, Maret 1988. Tao, Lee Lai. “Managing Potensial Konflik in the South Cina Sea: Political and Security Issues”, Indonesian Quarterly XVIII No. 2, 1990. Usman, Anani. “Menilai Kerjasama Politik ASEAN”. Analisis CSIS No. 6 Tahun XX, November-Desember 1991. Ullah, Hafeez Dkk. “Kemungkinan Ancaman Udara di Wilayah Asia-Pasifik Terhadap Indonesia pada Masa Mendatang”. Prangnya Karya Wiratama - Majalah Ikatan Alumni SESKOAU, No. 05 Tahun 2000. Wortzel, Larry M. “China Pursues Great-Power Status”, Orbis 38, No. 2, Spring, 1994. Wanandi, Jusuf. “Arah Kebijakan Amerika Serikat di Asia-Pasifik di Masa Mendatang”. Analisa CSIS No. 12 Tahun VIII, Desember 1979. _____. “Perubahan-perubahan Strategis dalam Percaturan Politik Internasional Memasuki Dasawarsa 1980-an”, Prisma, No. IV Tahun IX, 1980. _____. “Perkembangan Strategis di Asia-Pasifik Menjelang Abad Ke-21: Suatu Pandangan Regional”. Analisa CSIS, Tahun XVII No. 3, Maret 1988. _____. “Menuju Orde Internasional Baru”. Analisis CSIS No. 6 Tahun XX, November- Desember 1991. Yu, Bin. “Sino-Russian Military Relations: Implication for Asian-Pacific Region”, Asian Survey 33, No. 3, Maret 1993. Zagorsky, Alexei V. “Confidence Building Measures: An Alternative for Asia-Pacific Security?,” Pacific Review 4, No. 4, 1991. Laporan Tahunan “Trends and Defence Expenditure”, Asian Strategic Review, Tahun 1998-1999 “Power Game and Military Forces”, Asia Yearbook, Tahun 1984 “Power Game and Military Forces”, Asia Yearbook, Tahun 1985 “Power Game and Military Forces”, Asia Yearbook, Tahun 1986 “Power Game and Military Forces”, Asia Yearbook, Tahun 1987 “Power Game and Military Forces”, Asia Yearbook, Tahun 1988 “Power Game and Military Forces”, Asia Yearbook, Tahun 1989 “The Military Balance”, Asia Yearbook, Tahun 1993 “The Military Balance”, Asia Yearbook, Tahun 1995 “The Military Balance”, Asia Yearbook, Tahun 1996 “The Military Balance”, Asia Yearbook, Tahun 1997 “The Military Balance”, Asia Yearbook, Tahun 1998 140 “Data and Statistics: All South East Asia Countries”, The Europa World Yearbook, Tahun 1997. Vol. I dan II. “Data and Statistics: All South East Asia Countries”, The Europa World Yearbook, Tahun 1998. Vol. I dan II. “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditures and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1975-1976 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditures and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1976-1977 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditures and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1977-1978 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditures and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1978-1979 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditures and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1979-1980 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1980-1981 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1981-1982 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1982-1983 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1983-1984 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1984-1985 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1985-1986 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1986-1987 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1987-1988 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1988-1989 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1989-1990 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1990-1991 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1991-1992 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1992-1993 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1993-1994 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1994-1995 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1995-1996 141 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1996-1997 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1997-1998 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1998-1999 "List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 1999-2000 “List of Armed Forces and Comparisons of Defence Expenditure and Military Manpower: Asia”, The Military Balance, Tahun 2000-2001 “World Military Expenditure 1975”, SIPRI Yearbook, Tahun 1976 “World Military Expenditure 1976”, SIPRI Yearbook, Tahun 1977 “World Military Expenditure 1977”, SIPRI Yearbook, Tahun 1978 “World Military Expenditure 1978”, SIPRI Yearbook, Tahun 1979 “World Military Expenditure 1979”, SIPRI Yearbook, Tahun 1980 “World Military Expenditure 1980”, SIPRI Yearbook, Tahun 1981 “World Military Expenditure 1972-81”, SIPRI Yearbook, Tahun 1982 “World Military Expenditure 1973-82”, SIPRI Yearbook, Tahun 1983 “World Military Expenditure 1974-83”, SIPRI Yearbook, Tahun 1984 “Tables of World Military Expenditure”, SIPRI Yearbook, Tahun 1992 “The End of the Cold War: Measuring the Effects”, SIPRI Yearbook, Tahun 1993 “Military Expenditure: Production and Trade”, SIPRI Yearbook, Tahun 1994 “Tables of World Military Expenditure”, SIPRI Yearbook, Tahun 1995 “Tables of Military Expenditure”, SIPRI Yearbook, Tahun 1996 “Tables of Military Expenditure”, SIPRI Yearbook, Tahun 1997 “Tables of Military Expenditure”, SIPRI Yearbook, Tahun 1998 “Tables of Military Expenditure”, SIPRI Yearbook, Tahun 1999 “Tables of Military Expenditure”, SIPRI Yearbook, Tahun 2000 “Soviet Global Power Projection”, Soviet Military Power, 1989 Dokumen Institusi Bank Indonesia, Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia, Vol. III No. 1, Januari 2001. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri RI (Balitbang Deplu RI), Report of the Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea, Bali, 22-24 Januari 1990. Balitbang Deplu RI, The Second Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea, Bandung, 15-18 Juli 1991. Balitbang Deplu RI, The Third Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea, Yogyakarta, 28 Juni-2 Juli 1992. Balitbang Deplu RI, The Fourth Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea, Surabaya, 23-25 Agustus 1993. Balitbang Deplu RI, The Fifth Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea, Bukittinggi, 26-28 Oktober 1994. Balitbang Deplu RI, The Sixth Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea, Balikpapan, 10-13 Oktober 1995. 142 Balitbang Deplu RI, The Seventh Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea, Pacet, Bogor, 3-5 Desember 1997. Balitbang Deplu RI, The Eight Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea, Balikpapan, 1-3 Desember 1998. Chairman’s Statement, The First Meeting of the ASEAN Regional Forum, Bangkok: 25 Juli 1994. Defense White Paper 1999, The Ministry of National Defense, The Republic of Korea. “Ministry of Defence, Goverment of India Annual Report 1999-2000: National Security Environment”, Documentation AGNI Studies in International Strategic Issues, Vol. V No. 2, May-August 2000. US Department of Defense, “A Strategic Framework for the Asian Pacific Rim Report to Congress, 1992”, Washington DC: USGPO, 1992. Surat Kabar/Majalah (Referensi artikel, berita, dan tajuk rencana beserta tanggalnya yang dikutip dalam surat kabar dan majalah dibawah ini telah disebutkan dalam footnote [catatan kaki] dalam setiap Bab) Antara, Jakarta Angkasa, Jakarta Asiaweek, Hongkong Far Eastern Economic Review, Hongkong Forum Keadilan, Jakarta International Herald Tribune, New York Jakarta Post, Jakarta Jane’s Defence Weekly, Washington Kompas, Jakarta Koran Tempo, Jakarta Media Indonesia, Jakarta Military Technology, London New Straits Times, Singapore Newsweek, Hongkong Pikiran Rakyat, Bandung Republika, Jakarta Suara Pembaruan, Jakarta Suara Hidayatullah, Jakarta Time Asia, Hongkong The Economist, London TSM, Jakarta Utusan Malaysia, Kuala Lumpur Website/Internet (Referensi artikel, berita, data dan tajuk rencana beserta tanggalnya yang dikutip dalam website dibawah ini telah disebutkan dalam footnote [catatan kaki] dalam setiap Bab) http://www.iijnet.or.jp http://www.isn.ethz.ch.iiss http://www.iseas.edv.sg 143 http://www.sipri.se http://www.asiaweek.com http://www.newsweek.com http://www.asiaweek.com http://www.cnn.com http://www.kompas.com mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt